Enam

39 8 3
                                    

Elena menenteng tas berisi buah-buahan, sekarang ia sedang menuju rumah Faisal. Setelah berpikir berkali-kali akhirya ia memutuskan untuk pergi menjenguk kakak kelasnya itu.
 
"Permisi." Elena mengetuk pintu beberapa kali.
 
Seorang perempuan yang kelihatannya hanya berbeda beberapa tahun dengannya membukakan pintu.
 
"Maaf Kak, apa ada Kak Faisal?" Elena tersenyum ramah, perempuan tersenyum dan meminta Elena untuk duduk terlebih dulu di di kursi teras. Tidak lama ia kembali dan mengantar Elena sampai depan pintu kamar Faisal. "Pacarnya Faisal, ya?" Tanya perempuan itu sebelum pergi meninggalkan Elena. "B-bukan, Kak." Perempuan itu mengangguk dan menepuk bahu Elena pelan dan pergi.
 
"Kak?" Laki-laki yang sedang membaca buku dengan kain kompresan di dahinya menengok sambil tersenyum.
 
"Elena!"
 
Elena duduk di pinggir kasur, menaruh bawaanya di lantai. "Katanya Kakak pingsan?"
 
Faisal melepaskan kain di dahinya dan membenarkan posisi duduknya. "Iya, cuma kecapekan. Kayak yang gue bilang tadi pagi." Elena diam karena setelah tau balasan dari Faisal malah tidak ia balas.
 
"Sendiri kesini?" Elena mengangguk. "Gue bawa buah, ada Apel mau gue potongin? Katanya itu bagus buat ningkatin imun tubuh." Elena mengambil lagi tas belanjaanya tadi dan mengeluarkan isi buah-buahan untuk ia tunjukkan ke Faisal. Perempuan tadi mengetuk pintu dan datang dengan botol minuman, "Di minum ya, Dik." Katanya sambil menaruh air botol yang ia bawa di meja samping tempat tidur. Ia berdiam sejenak dan memperhatikan Elena juga Faisal, tidak lama ia kembali tersenyum. "Aku tinggalya." "Terima kasih, Kak." Jawab Elena.
 
"Itu siapa, Kak?" Tanya Elena setelah perempuan itu pergi.
 
"Kakak gue, Intan." Elena menganguk paham.
 
"Mau nggak Apelnya?" Faisal mengangguk, tapi Elena malah kembali diam. "Kenapa?"
 
"Pisaunya mana?" Ia di tertawakan Faisal, "Ada di dapur."
 
"Yaudah gue ambil dulu, ya."
 
Elena pergi kearah dapur, rumahnya sepi. Ia kira hanya rumah Atta dan dirinya saja yang sepi ternyata tidak. Hanya ada Kak Intan yang tengah sibuk dengan laptopnya di ruang tamu. "Permisi Kak, aku mau ambil pisau."
 
"Oh, ya silahkan." Elena mencari-cari dimana pisaunya di taruh.
 
"Pisaunya ada di atas." Kak Intan membuka laci atas dan mengambilkan pisau untuk Elena.
 
"Kamu Elena, ya?" Elena tecengngang, bahkan Elena belum memperkenalkan dirinya. Bagaimana ia bisa tau. "Iya, kak. Koktau?"
 
"Ya karena siapa lagi sih cewek yang punya mata sayu tapi senyumnya manis ngalahin gula dan madu terus njuga ngangenin."
Elena sedikit tersipu, tapi entah kenapa ia di deskripsikan seperti itu. Padahal dirinya hanyalah pembual handal.
 
"Oh iya, aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa kamu." Elena bahkan tak menjawab ucapan itu, rasanya ia benar- benar terlempar setiap saat menerima ucapan yang sama.
 
"Elena!" ia tersontak.
 
"A-aku lanjutin tugas kuliahku dulu ya. Kamu kalo perlu apa-apa ambil aja" Intan terbata, mungkin ia sadar jika ucapannya membuat Elena jadi mematung. Tapi ia tidak bermaksud untuk seperti itu, lagipula apa salahnya memang hal itu di lakukan di manapun.
 
Elena mengambil piring dan  kembali ke kamar Faisal, ia membuang perasaan tidak karuannya dan memotong sebuah apel.
 
"Kenapa?" Kata itu selalu jadi andalan Faisal. Ia seakan tau semua yang Elena rasakan.
 
"Gapapa."
 
"Ada Intan ya di bawah?" Elena mengangguk.
 
"Kak Intan tau nama gue darimana? padahal gue nggak pernah ketemu dia."
Faisal diam semenit, "Dia ngomongapaaja, Elena?"
 
"Ngaak banyak, dia tau nama gue terus dia bilang kalo siapa lagi sih cewek bermata sayu tapi seyumnya manis ngalahin gula dan madu." Nadanya disamakan percis dengan Intan tadi.
 
"Bahkan dia bilang gue ngangenin, padahal kita belum pernah ketemu dan yang gue anehin, kok gue di bilang manis kata siapa coba?" Elena penasaran sendiri, ia memberikan piring yang sudah ia potongi apel ke Faisal.
 
"Ya mungkin pas dia ngeliat lo, dia bisa rasain itu."Faisal memakan apelnya.
 
"Loh, di rumah cuma ada Kakak bedua?"
 
"Iya, Ibu ayah gue kerja."
 
"Oh iya, tadi Kak Fanny berantem sama Marissa."
 
"Kenapa?"
 
"Katanya sih Kak Fanny nggak setuju sama ide Marissa buat acara kelulusan nanti."
 
"Menurut gue Fanny nggak bisa begitu sih, semuakan udah jadi tanggung jawab Marissa. Dia cuma boleh berpendapat, tapi ide Prom Night terlalu mainstream."
 
"Terus menurut lo gimana, Kak?"
 
"Kalo gue mending nggak usah di rayain."
 
"Kenapa?"
 
"Karena, lulus SMA itu bukan kebahagiaan. Harusnya sih lebih baik uang yang dipakai buat acara Prom Night buat di sumbangin ke orang-orang yang membutuhkan. Lagi juga kenapa sih seneng lulus SMA? setelah itu kan pasti maslaah hidup jauh lebih parah. Kalo uangnya kita sumbangkan, kita bisa dapet doa-doa kebaikan dari orang-orang yang nerima itu. Kita, kan nggak tau doa siapa yang bakal ke kabul duluan."
 
"Tapikan buat reward ke diri sendiri, Kak. Karena kita udah capek-capek belajar buat ujian."
 
"Ya emang. Tapi dari doa-doa orang itu, kita bisa dapat reward lebih."
 
Faisal bukan tipe orang yang neko-neko, ia lebih mementingkan orang lain. Baginya jika ia bisa melakukan kebaikan ke orang lain, di situ ia mendapatkan kebahagiaan dan juga entah mengapa Elena jika mendengarnya kata-katanya ia selalu terpaku.
 
"Ya tapikan nggak semua orang bakalan setuju sama ide gue, jadi gue ikut aja apapun itu nanti."
 
"Terus kalo jadinya Prom Night, lo ikut?"
 
"Kalo itu tergantung lo.
 
"Maksudnya?"
 
"Gue mau ajak lo jadi partner gue."
 
"Kenapa gue?"
 
"Gue nggak tau mau ngajak siapa selain lo."
 
Prom night di sekolahnya memang di khususkan untuk kelas 12 tapi mereka bebas membawa satu orang di jadikan pasangan di acara itu. Tentu Elena bingung menjawab ajakan itu, terlebih dirinya memang tidak menyukai acara semacam itu.
 
"Gue nggak bisa janji."
 
"Gapapa, nanti kalo udah deket harinya lo bisa kabarin gue." Elena mengangguk, sebenarnya ia ingin sekali menolak tapi apa benar jika dirinya menolak faisal nggak akan ikut prom night? lagi pula kenapa dia nggak tau harus ngajak siapa selain Elena, apa itu hanya akal-akalannya aja?
 
Setelah itu Elena pamit karena hari semakin sore, saat melewati D'kafe Elena berniat untuk mampir terlebih dulu. Ia duduk di sudut kafe, menunggu pesanannya sambil asyik memanatap ponselnya.
Sebenarnya sosial media itu beneran atau nggak sih, kok kayanya mereka happy terus kayak nggak punya masalah. Gumamnya. Elena membuka Instastory milik Marissa, ia benar-benar niat dengan tugasnya sebagai ketua acara itu. Tidak lama pesananya datang di antar oleh cowok yang menginjak sepatunya.
 
"Eh, kamu." Sapanya sambil menaruh Strawberry Latte sebagai andalan Elena. Elena beralih ke arahnya, senyumnya terukir begitu saja. "Kamu kerja di sini?" Seragam D'kafe yang ia kenakan membuat Elena yakin benar ia salah satu karyawan di sini. Cowok itu mengangguk, "Lumayan buat tambahan jajan."
 
"Kok bisa? bukannya kamu masih sekolah?" Pikir Elena cowok itu seumuran dengannya.
 
"Bisa, karena aku kenal pemiliknya." Elena mengangguk dan membiarkan cowok itu kembali melanjutkan pekerjaanya. Elena menyeruput minumannya, dan beberapa kali pandangannya terus terarah ke cowok tadi yang sibuk mengantarkan pesanan custumer. Ah, apaan sih, El. Jadi mikir kemana-mana.
 
Elena mencoba menghubungi Atta, dari tadi ia tidak bertemu dengan anak itu. Males. Balas Atta karena Elena memintannya untuk datang kemari.

Elena menghabiskan mimunannya dan meninggalkan kafe, sekarang ia menuju rumah Atta. Ia bilang ada di rumah tapi ternyata tidak. Elena tidak menemukannya di kamar bahkan di semua ruangan namun anehnya kedua motor milik Atta ada di rumah.

Ia menelpon Atta, bertanya dirinya ada dimana. Gue di luar, baru aja keluar, katanya. Dasar tukang bohong. Elena mematikan sambungan teleponnya.

Ia duduk di kursi belajar milik Atta, Mejanya berdebu bahkan layar komputernya juga sama. Elena membersihkannya dan dengan niat menyalakan komputer Atta yang seharusnya tidak usah ia lakukan.

Tampilan layarnya gelap, ia membuka file gambar.
Ia menemukan banyak sekali foto-fotonya saat masih anak-anak dulu bersama Atta. Ada yang di taman, di sekolah, saat liburan bahkan saat mereka berendam di kolam renang plastik dan tanpa sadar senyumnya begitu saja terukir.

Ia bahkan menemukan foto-foto keluarga Atta, Foto saat keluarganya masih utuh menjadi satu.

Bahkan sebuah foto surat harapan saat Atta berulang tahun di usianya yang ke 8 tahun. Elena ingat hari itu. Bahkan Elena juga ingat saat Smp Atta menceritakan tentang surat yang ia tulis untuk Papanya tapi ia tidak akan membiarkan siapapun membacanya bahkan Elena.

Dan ada file lain yang hanya di beri satu huruf; D. Elena membuka file itu,lagi-lagi ia dikejutkan dengan isinya. Diana? Gumamnya. Satu satunya gadis yang bisa merebut hati Atta dari Elena.

Kualitas foto yang belum terlalu bagus tidak mengganggu Elena memandangi wajah manis itu, Atta sebahagia itu saat bersama Diana. Bukan karena dulu Atta masih anak-anak tapi memang mimik wajah Atta berubah semenjak kepergian Diana.

Atta benar-benar hebat menutupi segala perasaanya, ia kacau tapi sebisa mungkin ia kumpulkan serpihan hatinya yang berantakan semenjak hari itu. Hari dimana Atta kehilangan dunianya, hari yang membuat Atta berharap tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi bahkan ia berharap tidak pernah di lahirkan jika ia tau kalo perpisahan itu benar-benar menyakitkan.
 
Elena mematikan komputer itu, ia langsung pergi keluar rumah Atta. Menenangkan dirinya dengan udara segar, ia pergi ketaman menenangkan dirinya di sana.

Harusnya ia tidak usah melakukan itu, harusnya ia tidak usah membuka file-file itu tapi rasa ingin taunya benar-benar kelewatan dan sekarang ia malah teringat dengan kejadian-kejadian waktu itu. Bagaimana Diana pergi, bagaimana Diana berjuang dan bagaimana sedihnya Atta saat Diana pergi.

Benar-benar rasanya terasa lebih sakit sekarang di bandingkan hari kehilangan itu. Kenapa Elena baru merasakan jika kehilangan orang-orang yang di sayangi adalah mimpi buruk bagi semua umat.

 
 
 

TeduhWhere stories live. Discover now