Empat

54 9 1
                                    

Setelah perdebatan kecil itu, Elena masih tak berani untuk pulang kerumahnya padahal hari semakin malam. Elena menggerakkan-gerakkan kakinya gusrah sambil terus menatap rumahnya dari jendela.
 
“Nih makan.” Atta datang dengan 2 piring makanan, Elena hanya menilik tanpa berniat menampaninya.
 
“Gak usah di pikirin, lo bisa tidur di sinj.”

Telur ceplok yang sedikit kecoklatan itu baunya sungguh menggugah, Elena bahkan sampai ingin mengambil santapan yang ada di mulut Atta.
 
“Cepet di makan, jangan ngeliatin gue.”

Elena hanya diam.
 
“Tante Mira udah tidur belom ya, Ta. Gue takut.”
 
“Nggak usah ditakutin, makan aja dulu.”
 
Atta meletakkan piring di paha Elena, “Cepet, keburu nggak enak.”
 
Elena mulai menyuapkan nasi dengan telur hampir gosong itu, “Emang nggak enak.”
 
Lampu mobil mengalihkan Elena, Om Geo baru saja pulang dan itu membuat Elena merasa kembali khawatir.  Pasalnya, pasti cerita yang keluar dari mulut Tante Mira dengan kenyataannya pasti sedikit berbeda.
 
“Gimana nih, Ta?”
 
“Kan gue bilang, makan dulu. Abisin.”
 
“Ck, udah nggak enak makin nggak enak.”
 
“Bersyukur lo masih bisa makan nasi.”
 
Elena kembali menatap keluar jendela, “Ta, apa gue ikut nenek aja, Ya?”

Ucapan Elena membuat Atta tersedak, jika Elena tinggal di rumah neneknya otomatis ia pindah sekolah, Atta tidak lagi menjadi tetangganya dan mereka akan jarang bertemu.
 
“Nggak.”
 
“Tapi kan, Ta.”
 
“Kalo nenek yang pindah kesini, gapapa.”
 
“Nenek mana mau, jakarta panas katanya.”
 
"Tapi gue nggak mau lo pindah ke Surakarta, jauh Elena, kalo lo butuh bantuan gue nggak bisa dateng cepat."
 
Benar juga, memangnya Elena bisa hidup tanpa Atta? Pergi kemana-mana aja Elena minta Atta untuk mengantarnya, makan pun juga kadang Atta yang membelikan.
 
Ponsel Elena berdering, ia meletakkan piringnya dan mengangkat telepon itu.
 
"Aku di rumah Atta, Om, sebentar lagi pulang."

"Iya."

"Oke." Jawabnya.
 
"Kenapa?"

Elena mendudukan dirinya lagi, "Di suruh pulang.  Tapi gue takut, Ta."
 
"Nggak mungkin kan, Geo marahin lo?"
 
Elena menelan ludahnya, betul, Om Geo tidak akan mungkin melakukan itu. sikapnya terlalu lembut terhadap perempuan, bahkan untuk membentak saja Om Geo tidak akan mungkin tega.
 
"Yaudah deh gue pulang”
 
"Mau dianterin?"
 
Elena tidak menjawab dan langsung menutup pintu kamar Atta. Ia diam sejenak di depan pintu rumahnya, ternyata pikirannya salah di dalam tidak ada siapa-siapa. ia lari pergi ke kamar, mengunci pintunya. Padahal jelas ia salah, tapi ia ingin selalu menghindar dari masalahnya. Elena membuka laptopnya, membiarkan playlistnya menemani dirinya.
 
Ia membuka Email, mengecek apakah ada pesan masuk, setelahnya ia membuka buku tugasnya, melihat tugas apa saja yang belum ia selesaikan. Ah, ia hanya punya 4 dari 5 tugas. Satunya matematika, Pak Bagas memang senang dikejar, bahkan ia juga senang membiarkan anak muridnya kesusahan sebagai hukuman karena membiarkan mata pelajarannya diabaikan. Matematika itu kayak dia, Pak, sulit di pahami. Ucapnya sendiri.
 
Ma, kalo bintang malam ini bersinar terang berarti Mama sedang baik-baik aja di sana sama Papa, ya kan, Ma? Gumamnya.

Aku takut, Ma. Aku lebih takut dari sebelumnya. Kalo aku bisa pilih, aku lebih baik tinggal sendiri. Tapi kalo aku tolak buat tinggal sma Tante Mira, pasti semua mikir kalo aku nggak percaya Tante. Aku cuma takut, tapi kalo terus di kamar seperti sebelumnya, aku malah semakin takut. Aku mau pulang, ke rumah yang dulu. Rumah yang Mama ciptakan dengan begitu hangat.
 


Bahkan belum satu soal pun ia kerjakan, pikirannya sudah berlari kemana-mana, sudah di bilang, kamarnya itu akan membuatnya selalu ingat tentang apapun, seakan mereka merekatkan Elena pada semua hal yang terjadi. Padahal dulu, tempat itu jadi satu-satunya tempat untuk menenangkan diri.
 
Ia tertawa sinis pada dirinya sendiri, ia masih bingung bagaimana caranya untuk berhenti overthinking. itu hanya menyulitkannya, membuat segala urusannya terhambat. membuat ketakutannya semakin ada. Bahkan Strawberry latte nggak bisa nenangin hariku, Ma. Ia melupakan tugasnya, dan semakin membiarkan dirinya terhanyut pada pikirannya sendiri.
 
Coba hari itu Elena nggak minta untuk jalan-jalan, Pasti Mama Papa masih sibuk kerja. Udah,lah El, kalo pun dipikirin apa dunia dan seisinya tau kalo hari itu lo cuma mau ada di tengah-tengah Mama Papa? Ia menampik pikirannya sendiri.
 
Masuk ke kamar mandi dan membasuh mukanya, ia tidak merasa jika air matanya ikut terbasuh saat itu. Elena memperhatikan luka di dahinya di kaca, semakin mengering tapi akan membekas. seperti kejadian waktu itu, akan selalu membekas di ingatannya.

Ponselnya berdering, ia keluar dari kamar mandi dan mengangkat telepon itu.
 
"Ya, Ta?"

Jawabnya sedikit tegas agar suaranya tidak terdengar begetar.
 
"Mau ngerjain tugas. Ada banyak."
 
"Nggak usah. Ngapain kesini, kalo lo kesini cuma ganggu."
 
Teleponnya di matikan oleh Atta, tapi suara ketokan jendela membuatnya terkejut. Bagaimana bisa Atta sudah berada di depan jendela kamarnya, padahal sudah berkali-kali Elena bilang untuk tidak menaiki tangga kayu yang mulai rapuh itu untuk masuk ke kamarnya.
 
"Lo tuh, ya."
 
"Kan lo tau, semakin dilarang gue semakin akan ngelakuin larangan itu."
 
Atta masuk kedalam kamar Elena. ia hanya bisa geleng-geleng.
 
"Jangan bilang lo abis nangis."
 
Atta menatap tajam mata Elena, tapi ia membuang muka.
 
“Habis cuci muka."
 
"Mira marahin lo?" Hah? atau Geo?" Atta meninggikan suaranya, "Kalo lo berisik Tante Mira bisa tau kalo lo disini."
 
"Dia ngapain lo?"
 
"Apaan sih, Ta. Gue gapapa, Tante Mira juga udah tidur. Gue nggak nangis."
 
"Mau sampai kapan sih, El, lo nggak ngebiarin gue dengerin apa yang lagi lo rasain?"
 
Elena masih melanjutkan tugasnya, "Iya reaksi gue mungkin akan berlebihan, tapi gue mau tau."
 
"Kalo gitu lo nggak perlu tau supaya nggak berlebihan."
 
"Susah ya, padahal gue cuma mau dapet kepercayaan dari lo."
 
"Nggak perlu."
 
Atta membaringkan tubuhnya di kasur Elena, ia melihat kotak biru yang ada di samping tempat tidur dan mebukanya. Ia membaca surat itu tanpa Elena tau, "Ini dari siapa?"
 
Elena langsung merampas surat yag sedang Atta pegang.
 
"Nggak perlu tau."
 
"Gue bagi satu."

Seharusnya Elena tidak membiarkan Atta memakan cokelat itu, Reyy kan bilang untuk tidak membagikannya pada siapapun. Tapi daripada ia menanyakan pasal surat itu, lebih baik ia ingkarkan ucapannya.
 
"Aneh, masih jaman sekarang ngutarain perasaan lewat surat."
 
"Tiap orang punya caranya masing-masing, nggak semua harus sama."
 
Atta menertawakan ucapan Elena, "Kenapa?" Atta menggeleng.
 
“Lo juga, mau tau apa yang gue rasain tapi nggak pernah cerita tentang diri lo sendiri.”
 
“Karena di diri gue nggak ada yang menarik. Lo mau tau yang gue rasain?” Elena mengangguk.
 
“Nggak ada.”
 
“Bohong. Padahal gue belajar itu dari lo, Ta.”
 
“Apa?”
 
“Nggak nunjukkin apa yang lagi gue alamin dan rasain.”
 
“Lo salah, kata siapa gue nyembunyiin itu semua. Gue emang biasa-biasa aja sama semua yang terjadi. Udah biasa dan semakin terbiasa. Jadi, sedih, kecewa, bahagia, semua itu nggak pernah ada."

Lo lupa nggak sebutin marah, karena semua rasa itu lo lampiasin lewat kemarahan, kan? Gumam Elena.
 
Atta lalu diam, begitu juga dengan Elena. Padahal ia paham betul, Atta hanya pura-pura baik-baik aja, padahal dalam dirinya penuh amarah dan kesedihan. Mangkanya Elena belajar banyak dari kisah hidup Atta, setiap hari mereka selalu bersama jadi tidak mungkin Elena tidak melihat perubahan dalam diri Atta. Apalagi sekarang ini, Atta semakin tidak menunjukkan segala bentuk perasaan.
 
Wajahnya lebih sering datar, bahkan lelucon Elena tidak lagi bisa membuatnya tertawa. Padahal dulu, Atta adalah anak laki-laki yang manis dan baik pada semua orang.
 
Ia duduk di samping Atta yang masih tiduran, "Nanti kalo lo lulus sekolah, lo mau ngapain?"
 
"Jagain lo."
 
"Emangnya gue anak kecil harus dijagain? Serius, lo mau kuliah atau kerja?"
 
"Belom kepikiran."
 
"Nanti acara kelulusan, lo dateng ya, temenin gue." Sambung Atta.
 
"Loh, Ibu gimana? Udah di kasih tau seminggu lagi acara wisuda?"
 
"Udah, tapi belom di balas."
 
Elena menelan ludahnya, "Fokus ujiannya dulu, Ta. Pasti nanti di balas sama ibu.”
 
"Lo mau nggak?"
 
"Iya, tapi gue nggak janji."
 
"Yaudah, yang penting udah gue undang. Dah ah, gue mau pulang."
 
"Tunggu dulu?"
 
Atta menghentikan langkahnya, Elena memberikan 1 cokelat lagi untuk Atta, "Biar makin semangat belajarnya." Atta hanya tersenyum dan turun menggunakan tangga dari jendela. Elena hanya memperhatikannya sampai Atta benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Ia menutup jendela kamarnya dan melanjukan mengerjakan tugas-tugasnya.

TeduhWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu