Kisah Dua Puluh Dua-Sembelih

3 1 0
                                    

Aku terlalu takut mengatakan ini pada orang lain, lebih tepatnya malu pada diriku sendiri dan Mbek--kambing kesayanganku. Aku memang lelaki, tapi hatiku selembut wanita.

Jadilah aku mengutarakan di sini. Pada kertas putih dan hanya aku, kertas, dan Tuhan yang tahu. Kalau kamu baca ini, ya berarti kamu ada di posisi empat yang tahu rasaku seperti ini.

Mbek yang aku punya sudah tujuh bulan lamanya menetap di sini. Kalau seusia kandungan bayi, pasti sudah siap-siap lahir. Tunggu, ini kambing dan hari ini Mbek disembelih.

Bukan itu yang menyakitkan. Ini perkara daging Mbek harus aku jadikan sate seperti permintaan tetangga sebelah. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu padahal sebelumnya Mbek sudah menjadi bagian dari keluargaku?

Jujur saja aku memang menyukai sateng kambing, apalagi buatan Mang Raka di belokan gang depan. Ah itu nikmat. Bumbunya, dagingnya yang tusuk, dan yang paling enak adalah karena itu Mbek. Kalau itu Mbek, aku tak sudi memakannya.

Sungguh aku dilema. Entah harus menuruti kata tetangga atau bagaimana. Mereka menyuruhku yang menyembelihnya. Aku tidak tega. Aku tahu rasanya ditusuk oleh orang yang dekat dengan kita.

Beritahu aku bagaimana cara merasa biasa saja saat Mbek sudah tiada. Sungguh ini lebih menyakitkan dibanding ditinggal Tya--pacar pertamaku. Aku tunggu jawabanmu!

Sudut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang