Kisah Sebelas-Domisili

8 5 4
                                    

Sebuah tempat yang berlokasi di desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali ini menarik perhatian Ira bersama sahabatnya--Lian.

"Ini nih tempatnya. Kita tobat dulu lah setelah selama ini bikin dosa selama jadi murid," katanya santai.

"Tobat dulu nanti maksiat lagi ya? Kamu tuh, Ra. Aku mah nggak." Lian membalas dengan berakhir tawa.

Tempat wisata religius ini selalu nampak ramai tiap harinya. Bukan hanya umat Hindu yang berkunjung ke sini, namun wisatawan dari umat lain hingga luar daerah pun berlalu-lalang di kawasan ini.

"Ini kali pertama aku ke Tirta Empul setelah enam tahun yang lalu. Tampaksiring ada artinya, Ra?"

"Tampak itu artinya tapak. Siring artinya miring. Kalau nggak salah, tapak miring ini punya Mayadenawa. Coba besok-besok tanya ke guru Sejarah."

Sesuai dengan nama wisata religius ini yang memiliki makna sebagai tempat penyucian diri. Umat Hindu melakukan penyucian dengan berbagai tirta (air suci) yang keluar dari pancuran. Tempatnya pun dibagi menjadi beberapa wilayah yang tetap berada dalam satu kawasan.

"Lho, Ra itu kenapa bu le dan pak le juga ikutan melukat ya?"

"Melukat atau penyucian diri nggak harus umat Hindu aja yang ngelakuin, Lian. Semua orang bebas, semasih mereka memercayai hal tersebut."

"Memercayai? Maksudnya?" Muka polosnya memancarkan aura kebingungan, saking polosnya sifat yang dimiliki Lian.

Dua remaja tersebut menyaksikan wisatawan mancanegara yang melakukan penyucian diri. Menunggu antrean pancoran tirta berikutnya.

"Mendapatkan kemakmuran dan kedamaian diri."

Lian dan Ira telah berganti pakaian. Penyucian diri dimulai usai mereka menghaturkan sesajen.

"Airnya dingin, Ra." Barisan gigi Lian bergetaran. Lucu sekali wajahnya.

"Iya, pelan-pelan aja. Jangan lupa cuci muka tiga kali, kumur tiga kali, minum sekali, dan setelahnya akhiri dengan doa juga."

Lian mengambil posisi di depan. Ira memilih mengalah. Satu demi satu pancuran pembersihan diri telah dilalui. Hingga dua pancuran yang tidak menampakkan deretan umat yang menunggu giliran.

"Ini nih, Ra. Paling enak. Nggak ada antereannya. Asik bisa lama-lama di pancuran ini."

"Geser, Lian. Cari yang ada barisannya."

Lian menurut meskipun mukanya menampakkan tanda tanya besar.

Air kolam hanya sebatas pinggang orang dewasa. Kamen dan selendang para umat telah terendam sempurna sejak tadi. Lihatlah, ikan-ikan tersebut sedikitpun tidak terusik berada dalam satu kawasan dengan umat yang sedang melakukan penyucian diri.

Sinar mentari lembut terpantul pada air kolam. Semakin siang maka semakin banyak pula pengunjung tempat ini.

Deretan pancuran tersebut telah berhasil Ira dan Lian lewati. Mereka bergegas mengganti pakaian.

Jarak kamar ganti sangat dekat dengan kawasan penyucian diri. Loker-loker menyambut mereka saat memasuki kamar ganti.

Beberapa orang keluar dari kamar ganti dan kembali mengenakan pakaian kebaya dengan bawahan kamen yang diikat dengan selendang.

"Oiya, tadi kenapa dua pancuran di kolam nggak ada yang antre, Ra?" tanyanya saat telah kembali mengenakan pakaian adat Bali.

"Itu pancuran tirta pangentas, Lian. Untuk orang meninggal."

Refleks Lian menutup mulutnya.

Di luar sana umat Hindu berlalu lalang memasuki pura. Ada yang hendak sembahyang dan ada yang berniat pulang usai sembahyang.

"Ra itu apa?" Telunjuknya mengarahkan pada bukit tinggi dengan rerumputan hijau yang tertata rapi.

"Istana presiden, Lian," jawabnya ramah pada sahabatnya yang rumahan itu.

Lian tersenyum bangga saat daerahnya memiliki wisata yang tidak kalah dengan kabupaten lain di Bali.

"Pulang yuk, Ra."

Langkah mereka menuju pintu keluar dan kolam ikan menjadi penutup wisata religius kali ini. Di sekitar kolam ikan tersebut berjejer pedagang buah tangan khas Bali. Penataan ini sangat tepat sebelum bertemu dengan pintu keluar Tirta Empul.

Sudut KisahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon