Part 38. Tragis

72 5 5
                                    


Hitung maju, lift bergerak vertikal perlahan. Debar Sakti demikian kencangnya. Dia mulai menyesali kenapa berangkat sendirian. Siapa yang punya ide bagus saat kawan akrabmu dalam situasi darurat. Lantai demi lantai, orang di dalam lift berkeluaran. Tinggal dirinya menuju pemberhentian terakhir. Lantai kelimabelas.

Ting!

Hening dibanting. Sakti melangkah hati-hati dengan sepatu olahraga yang belepotan. Dia mendengar suara-suara orang dari balik dinding. Tidak jelas bicara apa, bukan satu atau dua orang jumlahnya, lebih banyak lagi. Suara ombak dan hutan buatan di pasang pada pengeras suara di samping kamera pengintai. Segala eksotisme palsu digantung di lantai tertinggi ini. Di rooftop yang menggantungkan kelambu langit yang kelam, lampu sorot kekuningan menerangi kolam renang. Syahdu, dikelilingi pohon palem berukuran mini. Sebagian bangku-bangku sandar raksasa, diisi pasangan-pasangan yang bermesraan. Dia terus berharap ada tanda-tanda Bima di tempat itu. Entah suara, atau apalah tiba-tiba saja misalnya. Harapan Sakti mulai kandas.

Beberapa pria berkacamata hitam, memperhatikan gerak-gerik. Dengan memanggul tas ransel, Sakti tak terlihat seperti para tamu elit yang akan dijamu. Dia tak punya petunjuk lain, tanpa tujuan mau kemana. Teringat perempuan seksi si bando kelinci. Dia masih disitu, setia berdiri di tempatnya. Udara malam dan pendingin yang berkolaborasi, tidak menyurutkan gadis itu berpakain seksi. Atas sampai bawah, auratnya terbuka. Sakti tidak tahu lagi harus menghadap wajah kemana.

"Maaf Bu... Eh, Mba... Hemm, saya sedang mencari teman." ucap Sakti sejuta sangsi. "Dia datang kesini, sepertinya."

Gadis itu memandang tidak ramah. Dengan lekat, dahinya berkerut memandang Sakti yang kikuk. Tiba-tiba teringat sesuatu, dan begitu mengusik si perempuan untuk memberitahu.

"Gue ingat sama lo! Ya, gue ingat."

Gara-gara tampang agamis Sakti, barangkali. Sekalipun hari ini Sakti bercelana dan berakaos sporty, air muka dan gelagat membuang pandang itu membuat si perempuan ingat betul dengan orang di depannya.

"Teman lo emang tadi kesini. Yang gombal itu kan? Tamunya Mamih" ucapnya perempuan itu dengan santainya. "Tapi udah dibawa Zacon ke ruangan lain."

"Kemana?"

"Ya mana gue tahu!"

"Loh. Kok nggak tahu." bentak Sakti bak hilang nalarnya. "Mana Ibu Ainul? Mana si Mamih?"

"Emang bisa seenaknya ketemu Mamih?"

"Tolong saya! Tolong kali ini..... Kasih tahu Mamih temannya Bima mau ketemu." ucap Sakti setengah memelas sekaligus memelintir lengan gadis itu.

Antara kasihan dan takut, gadis itu menekan tombol telepon paralel hotel. Dia berbicara dengan orang lain di luar sana. Lantas memberi anggukan kecil ke arah Sakti. Tanda permintaannya disetujui. Da boleh masuk. Ya, masuk ke ruang yang sama. Ruang yang sebulan lalu tempat mereka bertemu di hotel itu.

***

Aroma meranti yang kalah dengan kepekatan alkohol. Histeria. Ainul tertawa lalu menangis, bercakap-cakap panjang lebar dengan topik yang tumpang tindih. Dia berbicara tentang masa lalu, dengan nama-nama yang tidak dikenal. Sementara Sakti dengan ngeri memandang wanita tua mabuk parah di depan mata. Ainul menegak berbotol-botol alkohol yang berlainan mereknya.

"Bima dimana, Bu?"

"Hahaha..... Siapa?"

"Bima... Abimayu. Anak ibu, darah daging ibu."

"Heh!" ucap Ainul tersedak nafasnya sendiri. "Ada.... Ada.... Tadinya ada."

"Lalu?"

Dari tawa yang aneh itu, mendadak sudut bibir Ainul lonyot. Ingatannya berkibar satu kejadian tak enak.

The Sketch of BimAddictionWhere stories live. Discover now