Part 22. Rooftop

59 6 0
                                    

"Halo, Mas Bima....." seorang anak remaja menyapa Bima dengan tangannya yang kurus. Mereka saling kenal, dan cepat akrab. Hampir seluruh orang, walau hanya sebatas nama atau kenal wajah. Peraturan mengikat, nuansa kekeluargaan, ditumbuhkan sang owner dengan caranya sendiri. Tidak ada cleaning service. Semua dikerjakan sendiri. Jadwal piket bersih-bersih terpampang nyata di papan pengumuman. Bahkan nama Bima sudah terpampang nyata.

Mereka punya dua celengan sedekah seikhlasnya. Satu celengan untuk keperluan basecamp. Satu celengan lagi digunakan untuk membantu orang. Setiap anggota dianggap keluarga. Perlu diketahui asal usulnya, rumahnya, aktivitas harian, yang ditanyai secara terbuka oleh Om Sam. Di titik ini, bulu roma Bima bertegakan. Siapa yang peduli soal asal usul? Mungkin cuma manusia purba. Siapa pula yang bisa memberi tahu Bima asal usulnya? Barangkali Tuhan saja yang tahu pastinya.

Sakti bercakap-cakap dengan Om Sam yang berbadan gempal. Tidak seperti biasa, dia belum juga ganti baju. Dengan kemeja lengan panjang yang digulung, Sakti memancarkan auranya. Cuma jagoan panggung yang pamerin otot. Pahlawan kehidupan, menihilkan prestise semacam itu.

"Mas Bima, sebentar deh....."

Renyah, suara itu nyaman di telinga Bima. Sakti mendekati Bima yang bersiap-siap dengan kostum resmi berlogo basecamp.

"Saya pamit pulang lebih awal ya."

"Loh kok gitu, baru juga sampe."

"Nggak sabar pengen ngabarin soal hari ini ke Dinara. Saya mau buru-buru pulang."

Tepuk jidat. Salah strategi nih gue! Kok malah gue ditinggal jomblo begini.

"Yahh... sepi dong gue." jawab Bima dengan bujukan melambai.

"Rame begini loh. Ingat, kita semua saudara." jawab Sakti dengan tampang bijaksana, "Om Sam yang bakal ngelatih Mas Bima secara langsung. Kasian katanya, kalau digabungin sama yang lebih muda."

"Astagaaaaa.........."

Ini bukan tepuk jidat lagi, sampai jumpalitan sodara-sodara. Serius, jurus Aikido akan lebih menyenangkan dengan pembimbing baik hati seperti Sakti. Kalau diajari senior kelas berat seperti Om Sam, bisa patah tulang di sesi pertama.

Tanpa mampu mencegah, Sakti bergegas keluar dari ruangan. Tinggal Bima dengan hati yang berantakan. Om Sam berjentik memanggil Bima. Mual, perasaan Bima mulai tidak enak.

"Dek Bima, coba pemanasan dulu. Saya ada urusan sebentar," ujar Om Sam dengan raut datar sembari gesit menjentikkan jari ke seorang anak yang wajahnya lesu. "Ayo, kita ke atas!"

Bahu Om Sam yang penuh, merangkul seorang remaja berparas legam. Keduanya menepi ruangan, menjauhi orang-orang. Di ujung ruang besar itu, pintu keluar terhubung dengan tangga batu menuju rooftop. Beratapkan langit terbuka, hamparan atap dihuni debu dan beberapa barang bekas. Ada satu ruang kecil serupa gudang yang diselot sederhana. Meski disebut gudang, ruang itu terawat baik. Sebagian penghuni basacamp memilih tempat itu untuk tidur-tiduran. Selain tempat santai, mereka menyebutnya sebagai 'bilik pengadilan'. Om Sam mengadili orang-orang bermasalah di ruang itu, termasuk si remaja legam yang malang. Om Sam orang yang garang. Dia pula orang yang tidak suka mempertontonkan kekerasan. Begitu cara dia memimpin mental orang-orang. Bima mengintipi di balik desas desus. Cuma penasaran dengan cerita-ceritanya. Seputar bilik rooftop dan sang pemiliknya. Sama sekali, tidak tertarik lebih dari itu. []

The Sketch of BimAddictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang