Part 19. Si Baju Putih

100 7 2
                                    

"Entar gue samperin di perempatan, biar lo nggak nyasar."

Bukan kepayang girangnya Bima menyambut hari ini. Alex akan datang. Ada anak itu, yang lengang jadi ramai. Mereka bertetangga, tumbuh bersama sejak kecil. Mungkin Alex satu-satunya orang yang tahu betul daleman Bima kayak apa. Cerita keluarga, gelagat licik, dan lagi bokek pun, larinya ke Alex. Pada akhirnya, mereka saudara tanpa ikatan darah.

"Yok, temenin gue!" ucap Bima, tak tau diri seraya menarik lengan Sakti yang lagi santai-santai sore itu. "Sebentar doang, ih!"

Bima duduk di jok belakang. Sakti memicu gas motor butut miliknya yang kian memprihatinkan.

"Parah nih!"

"Iya Mas, jalanan rusak nggak ketulungan."

"Bukan jalannya."

"Jadi apa?"

"Motor lo!"

Beberapa kali melewati jalan bebatuan dan berlubang, badan Bima terguncang-guncang. Dan akibat kenyolotan Bima, Sakti tidak segan-segan menyuruh penumpang rewel itu mendorong si motor usang di tanjakan. Udah numpang, ngata-ngatain lagi.

Bima terengah-engah, belum juga ngapa-ngapain sebenarnya. Harusnya cewek-cewek melihat ini, batin Sakti. Dalam keterengahan, telepon genggam Bima bergetar. Ada telepon masuk.

"Iye, ini gue lagi kesono. Sabar ngapa."

Klik. Tamu penting Bima sudah menunggu. Dia ingin mengguncang-guncang si anak konyol bermata sipit itu, Alex.

***

"Beib, gue sama Alex ya, naik mobil." ucap Bima setelah melihat Alex sudah nongkrong di mobil jumbo mentereng keluaran Jerman. Seenaknya bilang "beib", tapi orang lain ditinggalin.

"Doain gue. Gue ingat janji gue apa. Tolong, doain gue lebih sering lagi." ujar Bima pada Sakti sebelum wajah bengal itu hilang dari pandangan.

***

Satu sisi, ada resah lain menghantui. Sisi lain, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam peririsan peristiwa manusia. Sore kian tergelincir. Anak-anak berdatangan seperti biasa. Ramai, semakin ramai. Bahkan, kini tampak lain. Anak remaja celingak celinguk ingin masuk. Kabar lukisan cantik, dan pelukisnya yang enak dipandang, tersebar akbar beritanya.

Turut hadir pula sepasang orang tua Bima, mantan orang tua angkat tepatnya. Mustafa memarkirkan mobil lawas berwarna putih lusuh di depan rumah yang dulu rumahnya itu, Rumah Baca Hefian. Ada getar setiap membaca nama itu. Dia belum lunas. Tahu betul, betapa berat merangkai cerita kelam itu kembali.

"Ayok, Pa!" tegur Maemunah pada suaminya.

Ketiga anaknya lengkap hadir. Mereka termasuk yang termakan desas desus pesona Abimayu. Untuk pertama kali, ruang utama yang besar itu tumpah disesaki pendatang. Genk Tulipers kelabakan dengan jumlah di luar dugaan ini. Dari balik bundar kamera, Dinara mengambil gambar dari berbagai sisi. Senyumnya tak lenyap berlipat-lipat menit. Keceriaan menjalari seisi ruangan itu.

Alex bersisian dengan Bima. Di sampingnya Sakti, berkoko putih casual dengan lurik minimalis yang terlalu rapi. Kontras dengan Alex dan Bima yang hari ini berpenampilan sejenis. Celana denim dipadani kaos lengan panjang dengan airbrush technique. Alex dan Sakti saling berkenalan. Alex banyak salah duga tentang pria muda itu. Nyatanya, seolah Sakti menggeluti macam bidang. Tipe orang berkepribadian tenang yang sudi mendengarkan. Bagian terunik, Sakti bisa menyambangi Alex dengan kultur musik kekinian, selera yang dia harapkan, dan lebih dinamis untuk bertukar pikiran.

"Kenapa seni memuat kebebasan yang absurd," ujar Sakti dengan lincah kepada Alex, "kenapa kita nggak mulai dari sesuatu yang luhur. Yang jelas arahnya."

Jadi itu semacam pertanyaan, ataukah gagasan. Ah, tak lagi penting. Alex makin terpikat dengan gagasan-gagasan Sakti dalam kunjungan yang dikiranya remeh temeh ini.

Rianti tegak di hadapan sekalian orang. Kostum birunya senada dengan dua lukisan Bima yang terpanjang.

"Laki-laki setia dan cita-cita," ungkap Rianti memulai cerita. Tepuk tangan gegar memenuhi ruang. Semua telinga menangkap suara bulat dan hentak ceria yang jadi ciri khas Rianti. Alur dan plot berderap. Mimik wajah yang berubah-ubah dalam tempo cepat. Seorang perempuan menarasikan kesetiaan laki-laki, sungguh kekontrasan yang mudah melekat di hati dan pendengaran orang. Belum klimaks, dia beranjak pada lukisan kedua. Jemari yang di hari lain rasanya biasa saja, berjentik gemulai.

"Si gadis pemanjat asa," ucap Rianti kali kemudian. Ya, judul itu dinamainya untuk lukisan kedua. Gadis kecil berkucir kuda sedang jongkok menyirami kecambah. Rendah dilihat orang, tak terbayang kelak batang-batang kecambah itu menantang. Sekiranya itulah asa manusia. Jika dicincang dan dijerang, naiklah dia nun jauh mengiba angkasa.

Jleb!

Klimaks ialah kesah yang ditimbulkan dari terang yang mendadak gulita. Hanya lampu biru UV yang dibiarkan menyala. Lamat-lamat, dua lukisan itu mengeluarkan endapannya. Fluoresensi sempurna. Dia membiarkan kornea masing-masing orang berebut rakus menangkapi cahaya. Sedramatis itu, bahkan Bima terhanyut dalam cerita. Ck, ah! Kenapa tidak dari dulu dia diberkahi persahabatan seperti yang ada disini?

Rianti menekan tombol nyala. Kembali ruangan diliputi lampu putih benderang. Waahh... Woww.... Huoooo... Dan ciutan kekaguman menutup acara itu dengan manis. Peluh dan lelah Genk Tulipers terbayar dengan sambutan yang sedemikian rupa. Para orangtua menyelipkan amplop amal dengan ringan tangan. Ini tak mereka harapkan. Tapi tak juga menolak, seraya membiarkan amal itu mengalir sebagaimana mestinya. Tak sedikit yang menaksir harga lukisan-lukisan Bima yang memenuhi ruang demi ruang di Rumah Baca Hefian. Buru-buru Alex memberi kode keras pada dua lukisan yang menawan hatinya.

"Bim, Laki-laki setia dan gadis pemanjat, tolong keep ya."

Dua jempol Bima teracung ke udara. Benar-benar penuh manusia. Tak terasa peluh membanjiri badan orang-orang. Emosi mengikat perlahan para pengunjung yang hadir. Mereka enggan beranjak lekas-lekas. Entah sekadar melihat-lihat atau jadi kutu buku dadakan dengan meminjami setumpuk buku di perpustakaan.

Alex mulai terlihat cuci mata. Menyisiri setiap sudut rumah, gaya interior, tak terkecuali gadis-gadis yang juga curi-curi pandang padanya. Dia tak terlalu buruk untuk ditaksir perempuan centil yang kesepian. Jambul bergaya Prancis, dan mata sipit borjuistik, di sisi itu dia punya pesona. Tiba-tiba, ingatannya tertuju pada sesuatu.

"Bim, yang mana?" ucap Alex menyenggol Bima diantara keberesikan.

"Apanya?"

"Calon pacar"

"Hem...." ujar Bima pura-pura mikir, "Ada kok"

"Iya,.... Kasi tahu gue yang mana orangnya."

"Ada deh, kepo amat jadi orang."

"Tinggal tunjuk doang, parah lo."

"Yang putih."

Ha... yang putih? Alex mencari-cari sesuatu yang disebut 'putih'. Maksud 'putih' itu apanya. Kulitnya? Alex tidak melihat gadis-gadis yang disinyalir berkulit putih. Ada ibu tua berkumpluk putih. Oh okey, tentunya bukan dia.

Di saat tebak-tebakan yang tidak lucu ini, Sakti menghampiri dua sahabat itu.

"Mas, saya pamit pulang dulu." Ucap Sakti dengan santun pada Bima dan Alex yang mengangguk bersamaan. Dia dibanjiri peluh pada sekujur dahi dan badan. Air keringat menjiplaki otot lengan dan dadanya di balik selembar kemeja putih yang ia kenakan. Begitu raga Sakti hilang dari pandang, Alex menjitak tengkuk Bima keras-keras.

"Putih ya, putih. Jadi dia.... ?" cibir Alex, marah dan lemas sekalian, "Ih kumat lo!"

Bima mengusap buku-buku tangan. Dia butuh Alex untuk kembali pada kenyataan. Cuma Alex yang tahu dia bisa sekumat ini. Seringnya Alex menawari banyak perempuan untuk meredam. Sulitnya kini, Bima sudah lama berjauh-jauh diri pada perempuan. Mengikuti norma yang dianut Sakti atas pembatasan interaksi lawan jenisnya. Apalah mau dikata, Abimayu sudah terlanjur sayang.

"Sadarin gue, Lex. Plis. Yang baju putih bikin mabuk kepayang."

Pengen garuk tembok si Alex jadinya. []

The Sketch of BimAddictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang