Part 29. Kumat

50 5 2
                                    


Bima dan agama barunya, kadang-kadang tidak terlalu baru. Semua tergantung bagaimana manusia menilai detik ini dan apa yang dia pilih untuk dilakukan. Benar kata orang, identitas agama tidak lebih penting dari kepribadian ruhiyah yang sesungguhnya.

Pagi-pagi, belum terlalu terang. Sakti mengetuk pelan pintu kamar Bima. Dia sudah berani main ke kamar sekarang-sekarang ini.

"Mas... " panggilnya, "Mas Bima! Bangun Mas."

Dia akhirnya mengetuk lebih keras dan nyaring pada pegangan pintu yang terbuat dari tembaga.

"Mas Bima, hei...."

Dari dalam kamar terdengar suara ceracau yang berat. Benda-benda keras dibanting, seperti bantal yang bertabrakan.

"Hei,... Halo..."

Kepala Bima nongol dari balik pintu. Jambulnya berantakan, dengan kedua mata layu. Tidak salah lagi, dia bangun belum lama.

"Saya bawa makanan. Ayo sarapan!"

Melangkah gontai menuju ruang baca, Bima menuruti perintah. Nafas panas Bima masih terasa di udara, tenggorokan keringnya pun belum lega. Sementara sahabatnya itu seperti singa yang siap menerkam hewan buruan. Luar biasa semangatnya menyambut pagi ini.

"Beneran baru bangun nih? Nggak sholat subuh dong." ujar Sakti berusaha ceria.

"Masih susah, grogi. Enakan barengan lo aja."

"Hemm, begitu."

Sakti jadi orang yang paling sibuk melengkapi keberislaman Bima. Mengajari sholat, melafalkan bacaannya, mencontohkan gerakan, sampai menanyai aktivitas hariannya apa saja. Segenap rasa senang dan keseriusan, dia siap berkorban lebih banyak. Termasuk mengorbakan hati.

"Saya bakal temani Mas Bima sampai benar-benar bisa, sampai betul-betul paham." ucap Sakti penuh kesungguhan. "Minimal sholatnya, nggak boleh tinggal. Pembeda muslim itu memang disitu."

"Thanks banget lo mau nemenin." jawab Bima agak sungkan, "Jujur, ibadah lima kali per hari itu berat banget buat gue. Karena gue..... Ya, karena gue ngga pernah gitu-gitu amat sebelumnya."

"Nanti juga terbiasa. Bakalan ngerasa butuh ngelakuin ibadah."

Bima mengangguk. Di tengah ketidakmengertiannya dengan jalan pikiran orang-orang fanatik agama seperti Sakti, dia mencoba melihat sisi lain dari perjalanan spiritual orang lain. Berkumur di bawah keran pencuci tangan, Bima melirik mentari pagi yang mengintip malu-malu. Dia merasa malu dengan cahaya di luar sana. Sudah lama tidak ada yang membangunkannya seperti pagi ini. Indahnya dicintai, punya seseorang yang memperhatikan.

"Yuk sarapan, Mas. Masakan Dinara. Maaf-maaf aja kalau kurang pas rasanya."

Sakti membuyarkan lamunannya. Setangkup telur asin dioles sambal pedas, terhidang bersanding dengan sayur-mayur yang entah apa namanya. Segumpal nasi putih di rantang bagian bawah. Sesuap demi sesuap, dua sahabat itu bertukar cerita. Tentang Dinara yang sudah digumuli aktivitas perkuliahan. Rasa terimakasih terdalam atas semua bantuan Bima untuk keluarga Sakti tempo hari. Hanya menunggu waktu, Sakti resmi bergelar sarjana. Pekan lalu, dia baru saja dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan.

"Jangan lupa ngundang gue ke acara wisudaan."

"Pasti, Mas!"

Beririsan dengan kebahagiaan orang lain, sejenak beban di dadanya hilang. Sedikit demi sedikit, Bima mempelajari maksud Tuhan kemana arahnya. Simfoni indah di rumah yang dia huni enam bulan belakangan ini. Merapikan buku seperti merapikan dirimu sendiri. Mensejajarkan nomor-nomor panggil, membuka-buka halaman seolah sapaan selamat pagi bagi makhluk bernyawa. Bima pergi mandi, membiarkan kucuran air mengaliri seluruh tubuh tanpa terkecuali. Dingin, membangunkan pori-pori, sejenak lalu ada nafas-nafas yang bangkit. Mengingat-ingat perasaan macam apa yang hadir berlarian. Kengerian mimpi yang teredam, sisa-sisa ingatan, dan jawaban yang akhirnya dia pilih. Sebagai orang yang sejak awal kosong dari spiritual agama-agama, masuk ke dalam agama islam seperti mengisi bejana kosong. Dialiri, diisi, penuh secara alami. Semoga hanya butuh waktu baginya untuk menerima total seluruh konsekuensi beragama. Tidak pernah mudah, sekalipun kau mempelajari agama lebih banyak dan lebih dalam lagi. Agama bukan matematika, atau premis-premis ilmu fisika. Tidak melar seperti produk-produk sastra. Ya, tidak sebebas itu, tidak kompromistis juga pastinya. Kesendirian di kamar, Bima mengangkat takbir untuk sholat dua rakaat. Jenis sholat yang dia tidak tahu apa, ya sholat aja. Anggaplah sholat untuk ganti waktu subuh yang tadi ketinggalan. Canggung dengan posisi rukuk yang membuka kedua kaki. Bangkit dengan takbir, dia sibuk menghafalkan gerakan. Al Fatihah, satu surah itu saja yang bisa sedikit-sedikit nempel di kepala. Menjatuhkan kepala ke tanah, bersujud, itu bagian tercanggung dari seluruh rangkaian gerakan sholat. Mata nyalang sekalipun, dia tak melihat apa-apa. Mata batinnya harus bicara, keintiman hamba dan pencipta benar-benar diuji. Bima lekas-lekas menyelesaikan sholat, berucap salam selepas tahyat akhir. Memanjatkan satu doa yang begitu singkat, "Ya Allah... apa lagi setelah ini? Mohon yang terbaik aja, lancarin semuanya. Pengen sejahtera, pengen lega jadi manusia. Dan jauhkan aku dari godaan setan yang terkutuk."

Bima baru selesai melipat sajadah, lantas dering selular berbunyi. Sebuah nama mematut-matut di layar datar telepon canggih itu.

Oh, anak kampret.

"Salemlekom, brotha....."

"Asem...."

"Ih, dijawab doang salamnya."

"Lafadznya nggak bener, makanya asem."

"Ciee.. cie.... Udah kenal lafadz nih ye."

"Lama. Lo lama. Makanya keburu gue pinter. Terus lo kaget deh, gue pinter kayak gini."

"Sorry, Lex. Chat sama telepon dari lo nggak kebalas. Asli, gue nggak sempat pegang handphone beberapa hari ini. Sibuk banget."

Bima menampakkan bibir manyun via video call. Layanan telepon video salah satu sambungan favorit mereka berdua. Sayang melewatkan gelak antar sahabat humor begitu saja.

"Yaa, elo kan bos. Gue maklum."

"Jadi? Lo beneran masuk Islam. Serius?"

"Gue nggak serius kan sama lo doang. Urusan ke orang lain, ya seriusan."

"Ya ampun, Bima. Mimpi apa sih lo? Kerasukan jin mana?"

"Kalau aja lo dapat mimpi yang sama, mungkin lo jadi alim juga."

Alex mengangguk-angguk membayangkan kengerian mimpi yang dibicarakan Bima dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, dia tak berhenti takjub pada perubahan signifikan Bima yang sekarang. Pergaulannya, cara dia bicara, tempat nongkrong. Ya,,, dia tahu Bima mungkin terpenjara dengan tempat baru. Tapi bukan berarti kebiasaan seseorang bisa langsung lenyap begitu saja. Alex sadar. Ada yang berubah dari Bima, yang Alex tidak tahu jelas itu apa.

"Hemm.... Bim... jujur nih! Lo jujur ya."

"Ya, gue jujur. Apa?"

Satu pertanyaan ini jadi kunci buat Alex. Bima udah total berubah atau belum sih?

"Lo masih doyan?"

"Apa? Bokep? Terakhir kali sebulan lalu."

"Wuee.... Keren. Tiga kali sehari kan dosis lo."

"Yes. Tau lo ya."

"Hemm... tapi bukan itu sih sebenarnya yang pengen gue tanya," ujar Alex tertahan, menelan ludahnya satu kali. "Lo masih naksir doski? Yang baju putih itu loh."

Bima membuang muka ke udara. Menjauhi arah telepon, berlalu meninggalkan tampang Alex yang memanggil-manggil.

"Woi, jangan kabur lo, pisang ambon!"

Bima menatap pantulan di cermin. Meneliti keadaannya, makhluk tuhan yang dipuji-puji orang. Wajah tampan dan tangan seninya yang lihai. Pertanyaan yang memunculkan ketegangan. Setruman-setruman lisrtrik endorpin bermunculan.

"Nggak lah, gue nggak kabur."

"Jadi? Masih?" tanya Alex terus mengejar.

Diam. Bima cuma diam. Jalaran hormon dari dada ke daerah pusar, masih terus turun ke bawah. Aliran ini membuat Bima diam. Tapi kali ini tidak. Logikanya cepat bertindak. Dia manusia yang merdeka. Dia bertekad untuk yang satu itu.

"Yaudah kalau lo nggak mau jawab." ucap Alex canggung, akhirnya.

Mereka kemudian saling diam, saling lihat, bicara lewat tatapan mata digital.

"Lex...."

"Hemm..."

(Huff,, hempas nafas Bima berembun di udara)

"Masih.... Gue masih naksir." ucap Bima tertunduk. "Kalau gue berhasil bikin dia sayang juga, gimana?"

"Jiah! Agresif lo."

Alex memijat kerutan-kerutan di jidat yang mendadak kumat. Nih anak setannya kuat amat. Bima... Bima... Udah gue duga! []

The Sketch of BimAddictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang