Semua marah pada Lukas. Sementara Ethan yang sedari tadi hanya memilih untuk menjadi pengamat saja, tidak ikut nimbrung, seketika merasa bersyukur akan pilihannya.

"Saya minta tidak ada lagi yang berbicara."

Pak Hanung sudah memberi intruksi untuk para siswa agar diam. Sehingga setidaknya Lukas bisa aman sekarang.

"Berhubung semuanya sudah lengkap, mari kita mulai makan malam kita dengan membaca doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing."

🍐

Nasya tersentak ketika ia sedang berjalan mendampingi papanya, tiba-tiba tangan seseorang terjulur membekap mulutnya, lalu membawanya sampai ke balik tembok. Lebih kaget lagi ketika ia mengetahui kalau orang itu adalah Adnan. Cepat-cepat Nasya melirik tangannya sendiri. Memastikan bahwa memar akibat pukulan papanya tadi sudah tersamarkan dengan baik. Karena Nasya tidak ingin Adnan khawatir akan dirinya.

"Sssst," Belum sempat Nasya membuka mulutnya, Adnan buru-buru berdesis sembari memosisikan jari telunjuknya di tengah-tengah bibirnya. Sejenak Adnan menyembulkan kepalanya. Memastikan kalau Pak Lawden tidak menyadari ketidakberadaan Nasya di belakangnya. "Gue cuma butuh waktu lo sebentar." Adnan menengok arloji hitam yang melingkar di tangannya. "Satu menit."

"Buat apa?"

"Buat jelasin, kenapa lo reject panggilan dari gue?" tanya Adnan langsung pada poin utamanya.

"Aku gak sengaja. Aku lupa yang mana yang harus aku slide untuk jawab panggilan kamu," karang Nasya, agar Adnan tidak mencurigai kebohongannya.

"Yang hijau. Jangan yang merah. Kalau yang merah, jadinya malah reject." Adnan mengingatkan lagi. Dia percaya saja kalau yang Nasya katakan itu benar adanya. "Lo jangan sampe lupa, ya. Soalnya kalau kayak tadi, gue pikirnya lo kenapa-napa."

Dalam diamnya, Nasya bertanya-tanya, 'kenapa cowok ini selalu memiliki feeling yang kuat tentang dirinya?'

🍐

Tanpa permisi, lima anak yang menetap di kamar 257 itu masuk ke dalam ruang Madam Loly dengan membawa buku tugas masing-masing yang sudah dipenuhi oleh 300 soal lengkap beserta jawabannya. Adnan sebagai orang pertama yang memijakkan kakinya di ruang kesiswaan itu, langsung meletakkan bukunya di atas meja Madam Loly. Disusul oleh keempat temannya yang lain.

"Ini buku Madam." Terakhir, Ethan menaruh buku tebal matematika yang Madam Loly pinjamkan padanya tepat di hadapan si pemiliknya. "Tugas kami selesai. Terima kasih," ucap Ethan lagi, mewakilkan teman-temannya.

"Selesai?" tanya Madam Loly tiba-tiba. Membuat Yudan, Ethan, Lukas, Adnan, dan Daniel saling melempar tatap, tidak mengerti.

"Iya, selesai, Madam." Daniel menegaskan.

"Semuanya udah tiga ratus, Madam. Soal sama jawabannya juga udah lengkap. Iya kan?" Lukas bertanya untuk memastikan ulang pada teman-temannya yang kemudian langsung diiyakan.

Madam Loly menyunggingkan sebuah senyuman miring melihat reaksi lima anak itu. Setelah menunggu selama tiga hari sampai batas deadline hukuman yang ia berikan pada mereka, akhirnya waktu yang ia tunggu-tunggu telah tiba. Setelah mendapat teror kemarin, Madam Loly memang tidak sabar ingin cepat-cepat berhadapan dengan lima anak itu di ruangannya.

"Pandai sekali kalian ber-acting. Tapi sayangnya saya tidak akan ketipu lagi oleh kalian,"

Mereka berlima kompak mengernyit, bingung. Mencoba untuk menangkap maksud ucapan Madam Loly. Namun gagal.

Madam Loly tertawa, sekarang. Lalu ia berdiri, melangkahkan kakinya. "Coba kalian baca ini," katanya seraya menunjuk tembok yang terdapat pilok merah.

Emerald Eyes 1&2Where stories live. Discover now