BAB 7

18.5K 2K 161
                                    

"Sudah selesai packing-nya?" melalui video call, Gisel melihat koper hitam yang diletakkan Rayne di atas ranjang.

Rayne mengangguk ogah-ogahan, lalu berjalan menutup lemari pakaiannya, "Gue disuruh bawa baju-baju yang presentable. Ngerepotin banget sumpah."

"Sabar, Ray. Lo cuma perlu bertahan dua minggu sebelum eliminasi pertama." Gisel berusaha menghiburnya, "Btw, gue dengar dari Sarah mansion yang bakal lo tempatin keren abis."

"Iya, di daerah Pondok Indah katanya." Rayne tak terlalu bersemangat. Dengan was-was ia memandangi jam dinding di kamarnya. Kru Soma TV akan menjemputnya sebentar lagi. Sekarang pukul lima sore, itu artinya tinggal tersisa tiga jam sebelum mimpi buruknya benar-benar menjadi kenyataan.

Tepat pukul delapan malam nanti, Aydan Dirgantara dijadwalkan bertemu dengan para kontestan untuk kali pertama. Karena itulah, mereka semua diminta berdandan rapi dan mengenakan formal dress.

Rayne menjatuhkan pilihannya pada off shoulder gown rancangan Tadashi Shoji yang dibelinya tahun lalu. Gaun berwarna abu-abu yang menurutnya kurang berkesan jika disandingkan dengan warna lain.

"Gis, gimana menurut lo?" Rayne tampak serius melakoni peran figurannya. Ia berusaha menunjukkan penampilan yang biasa—rambut digerai dan make-up secukupnya—tidak buruk tapi juga tidak cukup mencolok untuk dijadikan pusat perhatian.

Gisel memajukan wajahnya ke layar sambil mengerutkan kening, "Lo dasarnya cantik sih, mau pakai baju apapun tetap kelihatan appealing. Apalagi kalau pakai dress, aura lo jadi—"

"Kok lo malah muji-muji gue, sih?" potong Rayne dongkol, "Apa gue hapus aja nih make up?"

"Jangan! Nanti kalau ketahuan lo nggak dandan dan kelihatan tetap cantik, malah ribet jadinya." sebelum Rayne sempat protes, Gisel buru-buru menambahi, "Peserta lain pasti penampilannya jauh lebih heboh dari lo, dan yang nggak suka dandan juga bakalan menarik perhatian gara-gara terkesan natural. Lo udah pas ditengah-tengah, average. Apalagi lo pendek, jadi makin gampang ketutupan."

"Sialan—" omelan Rayne terputus begitu mendengar bunyi bel.

"Kru TCO?" Gisel refleks mengepalkan tangan kanannya, "Semangat, Ray! Benerin dulu tuh muka cemberut lo."

Mengikuti saran Gisel, Rayne memandang ke arah cermin, berusaha mengatur ekspresinya—senyum simpul disertai ekspresi gugup yang tak berlebihan. Ok, ia telah siap.

"Selamat sore, mbak Ray!" suara ceria Tasya langsung menggema ketika ia membukakan pintu, "Udah siap?"

Rayne mengangguk sembari mendorong kopernya.

"Wait, wait, mbak. Kita ambil gambar di dalam apartemen dulu." Tasya buru-buru menghalangi Rayne yang berniat keluar. "Tempat bagus gini harus ditunjukin ke penonton dong. Nanti dari kamar tidur, mbak Ray jalan sambil bawa koper, lanjut terus sampai naik ke mobil, ya."

Sabar, sabar. Rayne memperingatkan dirinya sendiri agar tetap tenang.

Poin 3: namanya figuran nggak pernah ngungkapin opini pribadinya. Kasarnya sih lo kaya kacung, cuma sekadar ngikutin arus dan perintah.

Dengan senyum yang dibuat setulus mungkin, Rayne menuruti keinginan Tasya. Heri—sang kameraman segera merekam setiap gerakannya. Tak lupa pria itu juga mengarahkan kameranya ke beberapa bagian ruangan yang dirasa menarik.

"Mbak Ray cantik banget hari ini." puji Tasya saat berada di dalam mobil, memerhatikan penampilan Rayne dengan saksama, "Bakal jadi salah satu kontestan yang visualnya top nih."

The Supernumerary Project (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang