BAB 2

21.8K 2K 99
                                    

Rayne Madaharsa melipat kedua kaki di atas sofa apartemennya, duduk santai sembari membolak-balik draft yang tergeletak di atas meja, "Waduh, masih laku aja acara model beginian?" Ia terkekeh pelan.

"Eh, muka lo biasa aja dong. Nyinyir amat." Sarah merebut draft TCO dari tangan Rayne—sahabat sejak zaman SMA-nya, "Please, jangan dibandingin sama acara norak yang sering lo liat di TV."

"Bedanya apaan emang?" tanya Rayne sambil mengunyah snack favoritnya, Lay's oven baked original potato crisps.

"Ini bukan acara kejar tayang. Jadwal syuting, proses editing, semua sudah dimantapin dari awal. Nggak peduli misal nanti dapat share tinggi pun, kita konsisten tetap jalan sesuai rencana. Dua belas episode selesai."

Melihat keseriusan dan semangat Sarah dalam menjelaskan program barunya, mau tak mau Rayne jadi mulai tertarik.

"Jadi ini semacam The Bachelor* versi Indonesia gitu?" 

(*Acara dating game show dari Amerika Serikat yang tayang di stasiun televisi ABC. Para kontestan wanita berkompetisi demi memenangkan hati seorang pria lajang yang merupakan bintang utama (bachelor) dalam acara tersebut.)

"Mirip, tapi less drama, more reality. Lebih classy pokoknya. Kalau kandidat utama bachelor pilihan gue goal, yakin deh show ini bakal sukses besar."

"Siapa kandidatnya? Orang terkenal?"

"Aydan Dirgantara!" jawab Sarah menggebu-gebu.

Rayne mengerjapkan mata sekali, ekspresinya datar, "Okay?" tanggapan standar yang dilontarkannya terdengar seperti pertanyaan.

"Kok lo lempeng aja sih?" Sarah berdecak kesal, "Ini berita heboh! Lo tahu kan siapa Aydan Dirgantara?"

Rayne hanya mengangguk. Sejujurnya ia tak mengerti dengan keantusiasan sahabatnya itu, "Generasi ketiga Dirgantara group, bukan? Salah satu pemilik firma telekomunikasi terbesar di Asia?"

"Nah itu lo tahu!"

"Gue pernah baca artikel tentang keluarganya di WSJ." 

(Singkatan dari The Wall Street Journal, surat kabar harian internasional Amerika Serikat)

 Sarah semakin tak habis pikir bagaimana bisa Rayne tampak biasa-biasa saja meski mereka sedang membicarakan pria lajang paling top zaman ini. "Ah, nggak seru lo!" cebiknya sebal.

"Gitu aja manyun, Sar—" kalimat Rayne terputus saat mendengar bel apartemennya berbunyi, "Udahan ngambeknya. Gue bukain pintu dulu."

"Gisel?" dalam sekejap kemarahan Sarah berubah. Senyum mengembang di bibir tebalnya.

"Mungkin. Dia bilang mau nginep hari ini gara-gara si Leo lagi ke KL."

"Kalau gitu gue nginep juga, ya?" Sarah melihat Rayne sekilas, sebelum sibuk mengganti-ganti channel TV.

"Ok. Tapi emang lo nggak dicariin sama Xavier?" ujar Rayne sambil berjalan menuju pintu depan.

"Laki gue nginep di rumah sakit malam ini, ada jadwal operasi."

"Pas banget. Udah lama kita nggak slumber party bertiga."

"Rayyyyy!" begitu Rayne membukakan pintu, seorang wanita modis berperawakan tinggi langsung berhambur memeluknya, "Gue kangen banget sama lo! Duh, sebulan ini lo sibuk terus."

"Sorry, sorry," Rayne menepuk-nepuk punggung Gisel, hanya bisa terkikik dengan kehisterisan wanita berambut sebahu itu, "Kemarin gue ada deadline buat desain café baru di Sudirman soalnya."

The Supernumerary Project (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang