BAB 5

15.7K 1.8K 89
                                    

Sabtu pagi, hari yang biasanya menjadi kesukaan Rayne kali ini justru terasa menegangkan. Sepuluh menit lalu, tepatnya pukul delapan, Leo datang menjemput Gisel untuk menikmati sarapan romantis di restoran favorit mereka. Meninggalkan Rayne sendirian dalam keadaan gundah.

Rayne melirik notes hitam yang tergeletak di atas mejanya. The Supernumerary Project, begitulah judul yang tertulis di halaman pertama. Semalaman suntuk Gisel membeberkan instruksi dan tips-tips penting yang sangat detail—total dua belas halaman penuh—tentang apa saja yang harus dilakukan jika ia benar-benar memilih berpartisipasi dalam The Chosen One.

Bunyi dering handphone sukses membuyarkan lamunan panjang Rayne.

"Ray?" nada cemas terdengar setelah ia menggeser tombol hijau di ponselnya.

Rayne menelan ludah, berusaha memantapkan hati, "Ya, Sar?"

"Gimana?" pertanyaan singkat itu berhasil membuat jantung Rayne berdetak kencang. Beberapa detik dilalui dalam keheningan. Penolakan yang siap ia lontarkan tiba-tiba tertahan di tenggorokan. Kasihan, tak tega. Begitulah yang Rayne rasakan saat mendengar suara Sarah.

"Okay..." Rayne menarik napas dalam-dalam, menggantung kalimatnya sejenak, sebelum akhirnya ia berujar lirih, "I'm in."

Pekikan kaget terdengar di seberang, "Ya ampun, Ray! Makasih, makasih banget! Lo emang the best!" Sarah bersorak heboh. Rayne bahkan dapat membayangkan sahabatnya itu sedang meloncat-loncat saking senangnya, "Gue ke tempat lo sekarang, ya!"

Rayne tertawa pelan. Meski ada sedikit rasa cemas dan ragu, ia sama sekali tak menyesal dengan keputusannya membantu Sarah.

Satu jam kemudian, bel apartemennya berbunyi.

"What the...?" Rayne langsung mematung, kaget bukan kepalang. Saat membuka pintu, ia mengira Sarah datang untuk mengucapkan terima kasih atau semacamnya, tak disangka-sangka wanita itu malah membawa serombongan orang tak dikenal!

"Pagi, Ray!" dengan semringah Sarah mencium pipi kanan-kiri Rayne, lalu memperkenalkan orang-orang yang berada di belakangnya satu per satu. Ada sutradara, kameraman, make-up artist, fashion stylist, beserta staf dalam timnya—Tasya. "Lo sudah mandi? Sarapan? Habis ini lo langsung makeup terus ganti baju, ya?" cerocosnya seperti kereta ekspres, "Udah disiapin semua sama kru kita, tinggal syuting aja."

Rayne ternganga, masih belum pulih dari rasa syok, "H-hah?"

"Mbak Rayne." Tasya tiba-tiba menyodorkan sebuah map, tak memberinya kesempatan bertanya, "Ini surat kontraknya, mau dibaca-baca dulu sebentar?"

Rayne mengangguk pasrah. Dijadikan pusat perhatian oleh orang-orang yang kini memenuhi apartemennya, membuat ia tak memiliki kekuatan untuk menolak atau sekadar memarahi Sarah yang telah mengacaukan hari liburnya.

Sial, sial, sial. Rayne cuma bisa mengumpat dalam hati ketika membaca isi perjanjian yang ada di tangannya. Seandainya boleh, ia ingin sekali mengungkapkan keberatan dengan tiga poin yang tertulis di lembaran kertas putih itu.

1. Selama berpartisipasi dalam acara, semua peserta wajib tinggal bersama di mansion yang telah dipersiapkan oleh tim TCO.

2. Dengan tujuan memerlihatkan adegan yang lebih nyata, tim akan memasang closed-circuit television (CCTV) tersembunyi yang tersebar di mansion. Para peserta tidak memiliki hak untuk mengajukan keluhan terkait konten yang nantinya disiarkan oleh pihak Soma TV.

3. Penggunaan telpon genggam atau perangkat komunikasi lain tidak diperbolehkan selama berada di lokasi syuting.

Darn it! Jadi setiap gerak-geriknya akan diawasi lalu dipertontonkan ke seluruh penjuru Indonesia? Dan ia tak boleh menggunakan HP? Bukankah itu sama saja dengan melanggar privasi? Ada apa sebenarnya dengan dunia ini? Sejak kapan kehidupan pribadi orang tak dikenal jadi hal yang begitu menarik untuk dilihat? Rayne sampai merasa pusing memikirkan semua itu.

The Supernumerary Project (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang