sepuluh

1.1K 179 19
                                    

Kalau di bilang gue ada kesempatan atau engga, jawabannya pasti ada. Karena kesempatan itu sebenarnya gue yang menciptakan sendiri. Bodohnya, dari kemarin gue gak ada nyali buat nyiptain kesempatan itu. Dari mulai senin pertama di sekolah, dimana gue kena hukuman karena memakai sepatu biru. Tapi bukan itu momen pentingnya. Gue mengenal gadis  berambut biru di sebelah gue yang lagi mengelap keringat di jidatnya dan gak lupa, momen kuncir rambut asal-asalannya yang membuat gue tau siapa dia. Akansa November. Yap, itu adalah momen terpenting di senin pertama gue sekolah.

Sampai besoknya, gue ketemu dia di kantin, gue mengikuti dia diam-diam. Owsyit, begitu rasanya jadi secret admirer?

Senin kedua di sekolah gue ketemu Akansa lagi di barisan upacara. Rambut birunya udah berubah jadi hitam yang di kuncir rapi dan di selipin ke topinya. Cantik.

Lalu, ada dimana si rambut biru alias username akansanv follow gue duluan di Instagram! Wah, gila gak tuh? Siapa coba yang gak seneng kalo gini caranya.

Besoknya, setelah kesenengan di follow Akansa. Gue ketemu sama dia yang lagi di jemur di lapangan. Rambutnya yang di kuncir asal bikin anak rambutnya jatuh-jatuh, terus keringet di jidatnya itu kenapa sih malah bikin gemes?!

Lalu pertemuan-pertemuan gue dan Akansa selanjutnya yang belum ada kemajuan. Dari mulai gue masuk ke kelasnya melihat dia yang lagi fokus dengerin musik, terus pas dzuhur gue liat dia lagi baru selesai wudhu, sampai selesai sholat dia ketauan lagi ngeliatin gue hehehe. Lucu banget gak sih?

Sampai di senin terakhir bulan februari alias kemarin. Gue berhasil ngajak ngobrol Akansa secara gak sengaja. Ternyata gue butuh enam kali senin dari bulan Januari buat ngajak ngobrol si rambut biru. Panggil gue Ikram si cupu aja gapapa. :)

“WOY, IKRAM!”

“Sorry, Kak. Gue gak fokus.”

Lahhh, bodohnya gue. Mikirin Akansa pas rapat calon kapten futsal.

“Sepuluh kali keliling. Jita, lo awasin dia.”

Ck, apes banget gue. Lari di waktu istirahat. Ya pasti jadi tontonan satu sekolahan. Ah gila, gue gak bermaksud cari muka, tapi ya gimana? Orang-orang pada ngeliatin gue. Kesenengan kali ya? Makan jajanan di pinggir lapangan, di bawah pohon rindang sambil ngeliatin muka gue yang mirip Cha Eun Woo?

Putaran ke delapan, gue berhenti di depan Jita. Minta minum. Untungnya si Jita ini inisiatif beliin gue air mineral. “Lo ngapain bengong sih tadi? Cari gara-gara aja.”

“Mikirin Akansa.” Jawab gue yang masih ngos-ngosan.

“Akansa en-vi?” Jita malah nanya balik.

“Lo tau?!”

“Gue tau Instagramnya. Cantik—enggak deng, lebih ke menarik.” Jita menjawabnya sambil mikirin mukanya Akansa, mungkin. Bahaya nih si Jita.

“Lo temenan di Ig?”

“Baru semalem gue follow dan dia  follow back tadi pagi.”

Gue langsung menyemburkan air mineral yang gue minum.

“Lo sama Cia aja, Akansa punya gue. Oke gak, sobatku?”

“AKANSA!” Teriak Jita dan wow benar aja, yang namanya di sebut lagi ada di pinggiran koridor kelas, nengok. Gue males liatnya, jadi gue lanjutin lari dua kali putaran lagi.

“Gak jadi, Sa.” Itu kata Jita, yang masih terdengar samar-samar di telinga gue.

Gue fokus lari. Sialan emang nih, idup gue di sekolah kayanya penuh hukuman hukuman dan hukuman. Cape aku tuh.

“Padahal lo lagi gak pake sepatu biru. Kenapa lagi kali ini?”

Gue otomatis berhenti dari lari sialan ini. Oh enggak, gak jadi sialan. Ini hukuman favorit gue!!!

“Di hukum gara-gara mikirin lo.” Harus kah gue jawab seperti ini? Oh tentu tidak. Kata Namira gue gak boleh terlalu keliatan. Oke, perlahan.

“Gue— tadi gak fokus pas rapat.” Yap, sesimpel itu.

“Oh hukumannya lari?” Tanya Akansa. Suara dia itu... renyah banget. Serak tapi lembut. Dengerin deh, suaranya Pevita Pearce pas jadi Adinda di film 5 cm, sama persis!

“Seperti yang lo liat. Kita kayanya ketemu gara-gara hukuman terus ya.”

“Kalo gak lo yang di hukum, gue yang di hukum, kalo gak kita berdua di hukum.” Balasnya sambil tertawa.

Gue ikut tertawa. “Lo merhatiin selama ini?”

Muka dia langsung berubah malu. “Enggak juga sih, cuma kalo di inget-inget yaaa jadi inget.”

Yaaah dia salting. Siapa yang gak gemes liat cewek yang lagi di taksirnya salting begini?

“IKRAAAM!!!” Teriakan syaiton. Kakak kelas gue yang memberi hukuman lari ini sepertinya sudah habis kesabaran sekarang.

“Lagi-lagi karena gue. Maaf banget ya, Ikram” Akansa dengan tatapan bersalahnya lagi.

“Tunggu gue satu putaran lagi, abis itu gue mau lanjut rapat. Tapi sebelum itu gue harus ngomong sama lo.”

“Istirahat kedua aja gimana?”

“Yang ini penting, Akansa. Tunggu, ya.”

Gue lanjut lari lagi satu putaran menghiraukan jawaban Akansa. Tapi gue yakin dia masih nungguin gue, ngadem di bawah pohon pinggir lapangan. Posisi dia yang lagi duduk langsung berubah berdiri pas gue dateng nyamperin dia.

“Capek ya? Kali ini gue gak bawa tissue atau air mineral, sorry.” Satu kalimat pembuka dari Akansa yang bikin gue fresh lagi tanpa seteguk minuman.

“Gak perlu. Lo aja cukup.” Mulut gue gatel, gak bisa nahan kalimat itu. Gue gak bisa perlahan kaya yang Namira suruh.

“Ada apa?” Tanya Akansa.

“Lo kenapa belum accept gue, Sa?”

“Umm, itu—” Dia kebingungan mencari jawaban.

“Penting emangnya?” Lanjutnya.

Gue diem, tapi Akansa langsung mengeluarkan handphone-nya dengan cepat.

“Udah ya?” Kata dia sambil menunjukan kalau dia sudah accept follow request gue.

Thanks, Akansa!” Gue memamerkan senyum terbahagia.

“Sama-sama, Ikram.” Katanya, balik senyum.

“Istirahat kedua nanti bareng gue, ya?”

“Siap, boss!” Katanya sambil hormat.

“Gue harus balik rapat. See you, rambut biru!”

Dia tersenyum.

Setelah itu gue langsung balik ke ruang futsal menyelesaikan rapat gue yang tertunda karena memikirkan Akansa. Kali ini, rapat futsal yang menunda pertemuan gue dan Akansa. Oke, kali ini gue harus fokus dulu buat rapat. Dua jam lagi, sabar Ikram. Orang sabar di sayang Akansa.

Sampai tiba waktunya si kapten futsal saat ini mengucapkan “Terimakasih atas partisipasinya.” Gue buru buru menuju kantin, menempati meja nomor 16 tempat Akansa dulu.

Gue menunggu Akansa, tapi gak lama. Sampai si rambut biru itu menyapa gue dengan kalimat:

“Hallo, sepatu biru!”

Akansa dengan tampilan kesukaan gue, rambut di kuncil asal-asalan membuat gue terpukau entah untuk yang keberapa kalinya.

Saat ini, mungkin gue harus berterimakasih kepada pencipta warna biru. Atau bahkan gue harus berterimakasih juga kepada sepatu biru dan rambut birunya Akansa?

Yap, thanks to sepatu biru Ikram dan rambut biru Akansa! Serta biru-biru lainnya yang mempertemukan gue dan Akansa. Kalo ada quotes yang bilang “Bahagia itu sederhana.” gue dukung dengan mengakuinya. Bahagia itu sederhana.





































-TAMAT-

Rambut Biru AkansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang