delapan

929 174 7
                                    

Kepala sekolah gue memberikan pidato panjang yang katanya sangat singkat itu. Tapi gapapa, mau sampe besok juga saya seneng, pak. Gue bisa memandangi Akansa yang kali ini rambutnya terlihat berbeda, bukan warna biru, walau gara-gara rambut biru itu gue terpikat. Kali ini dia lebih cute, seperti yang Namira bilang.

“Rambut lo lucu, di kepang dua.” Apakah gue cukup freak karena sudah bertingkah seperti ini? Gue sudah mengumpulkan sebutir keberanian buat ngajak ngobrol Akansa di tengah-tengah pidato sang kepala sekolah yang malah terdengar ramai karena bisikan  para umat tidak tahu diri yang malah mengobrol, seperti gue ini. Gue aja, jangan bawa-bawa Akansa.

Akansa melirik gue. “Aneh ya?”

Lah, dia gak ngerti bahasa gue ya? Kan gue bilang lucu bukan aneh. :(

“Engga engga, lo dan rambut lo lucu. Yang aneh tuh gue.”

Dia sedikit menyeringai omongan gue barusan. “Hehehe, thanks.”

“Sama-sama. Gue Ikram, kalo lo belum tau.”

“Iya, udah tau.” Tanggepan Akansa tuh kaya malu-malu gitu. Yaaa, sebagai cowok yang naksir, gimana gue gak gemes?

“Oh ya? Lo siapa? Tadi kan gue udah nyebutin nama, lo juga dong.”

“Tadi bukannya lo nyebutin nama gue ya?”

“Masa sih?”

“Iya tadi, sebelum upacara di mulai.” Katanya.

“Oh yang gue bahas masalah kenapa Instagram gue belum di accept?”

“Ah, itu. Sebenernya bukan gue yang follow.”

Gue terdiam. Jadi selama ini gue cuma ge-er doang di follow sama Akansa?

Oke, oke, gue bisa mengatasi. “Hahahahaha, gue bercanda Akansa. Lo kenapa kaku gitu sih? Grogi ya ngobrol sama gue?”

“Hahahahaha, iya Ikram, saya grogi ngobrol sama kamu.”

Mampus. Malaikat maut yang tidak ganteng seperti di Goblin datang dan menepikan jari-jarinya yang juga tidak mungil di telinga gue. Tamat sudah riwayat gue.

\\\

Terik matahari menemani gue di senin terakhir bulan februari. Kesialan atau keberuntungan yang gue dapatkan tadi pagi? Jawabannya, both.

Gue menunggu detik demi detik, menit demi menit supaya penderitaan ini beres. Gini nih, malesnya kena pelanggaran hari senin, Berdirinya dua jam. Kalo waktu itu sih samping gue Akansa jadi gak kerasa. Panas dikit juga kalo ngelirik dia langsung adem. Jam istirahat masih setengah jam lagi. Gue harus sabar. Bentar lagi ketemu Akansa. Gue bakal fresh lagi.

Gue melihat jam, sepuluh menit lagi. Gue kan anak futsal, kaya gini doang sih kecil. Gue mengeluh bukan karena panasnya, tapi waktu tuh kerasa lama banget. Ya gue pengen cepet-cepet istirahat aja pokoknya. Gak perlu gue jelasin kan alasan utama gue pengen cepet-cepet istirahat itu apa.

\\\

Bel berbunya tiga kali. Yang gue tunggu-tunggu akhirnya dateng juga. Gue langsung duduk lemes selonjoran dan nundukin kepala. Eit, tunggu, jangan cap gue cowok lemah atau gue capek. Engga, gue ini cuma pengen duduk aja dulu.

Ya ampun, ini ada bayangan air mineral yang bahkan gak dingin tanpa tetesan airnya. Akibat gue bohong kayanya, jadi agak halu gini. Gue masih nunduk, karena— yaudah oke, gue ngaku. Kepala gue pusing, sialan emang. Padahal lari dua puluh kali keliling lapangan sekolah gue yang cukup besar ini gue gak kenapa-napa. Gara-gara pusing ini, gue melihat lagi beberapa lembar tissue di sebelah air mineral tadi.

Gue yang tadinya nunduk pun penasaran.

Kalo gue gak kontrol mungkin bakal pingsan.

Sorry ya, gara-gara ngajak ngobrol gue, lo jadi kena hukum. Gue tau, kena hukum di hari senin tuh gak enak. Ya iya lah di jemur selama dua—”

Gue memotong ocehannya. Langsung nyamber ke air mineral yang dia pegang.

Thanks, Akansa. You saved my life.”

Lalu dia melongo lagi, seperti tadi pagi.

Rambut Biru AkansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang