4

33.7K 5.2K 838
                                    

Kalau ke depannya gue punya trust issue, nama Kak Dirga sudah pasti masuk dalam daftar penyebabnya. Katakan gue masih dendam persoalan silika-silika tadi. Tapi percayalah, mengobservasi butiran-butiran biru diantara kerumunan ungu bukanlah hal yang mudah. Dan, bukan hal yang menyenangkan pula. Apa lagi di waktu-waktu menjelang senja. Kapan-kapan kalian bisa coba kalau tidak percaya.

Meninggalkan urusan ekstrak dan silikanya di dalam desikator—karena memang belum akan dipakai hari ini, gue dan Sisil kembali ke area kerja kita. Gue menekan tombol lock, berniat mengecek waktu saat ini. Layar hp gue menunjukkan pukul 05.20 sore. Menebak akan kembali pulang malam, gue hanya bisa menghela napas pasrah.

"Gak usah cek jam terus. Satu jam akan selalu 60 menit dan satu menit akan selalu 60 detik. Begitu seterusnya dan gak akan berubah." Kak Dirga—yang entah sejak kapan sudah bediri di ujung meja—menyodorkan selembar kertas. "Ambil biker sana, larutkan metil parabennya. Ikuti instruksi yang udah saya tulis di situ. Saya tau kalian gak ngerti dengan proposal kalian sendiri."

Memandang punggung Kak Dirga yang berjalan menjauh, gue menggigit pipi bagian dalam, bimbang. Mau bilang makasih, tapi dia ngeselin. Gak bilang makasih, nanti dikata gak tau diri.

Duh, kenapa sih, dia gak bisa berbuat baik dengan cara yang baik juga?

Sementara gue sibuk dengan pikiran gue sendiri, Sisil datang dengan gelas kimia di tangannya—punya Dahlia.

"Kak, ini bahan-bahannya dimasukin ke sin—"

"Terlalu besar. Cari yang lain," potong Kak Dirga.

Gue menahan tawa. Gue gak tau apa yang lucu dari interaksi mereka berdua. Tapi entah kenapa, gue selalu menangkap sinyal kalau Sisil di mata Kak Dirga itu adalah orang yang pintar-pintar-bego.

Walaupun gue berpikiran seperti itu, khusus kali ini gue tau Kak Dirga gak sedang berusaha bertingkah menyebalkan. Pada kenyataannya, gelas kimia yang diambil Sisil memang terlalu besar, ukuran 500 ml. Sedang menurut komposisi yang tertera di kertas Kak Dirga, isinya nanti gak akan lebih dari 25 ml.

Cemberut, Sisil menghampiri gue. "Kan, lebih baik lebih daripada kurang."

"Tapi kalau cuma 1/20 bagian, kayaknya wadahnya emang kebesaran deh, Sil."

"Tapi di lokernya Dahlia gak ada yang ukuran kecil. Semuanya sebesar ini."

"Dahel itu orangnya suka sembrono. Jadi kalau lagi praktek, dia butuh bahan lebih banyak dari orang lain. Biar kalau misal ada yang salah dia gak repot nyiapin dari awal lagi. Makanya wadahnya dia juga besar-besar semua."

Sisil terkekeh pelan. "Terus ini gimana, dong?"

"Ya pinjam punya orang."

"Tapi di sini kita cuma bertiga, gak ada orang lain lagi. Terus mau pinjam di mana?"

Gue menyentakkan kepala. "Dah, tunggu sini bentar. Biar gue yang cari."

Gue mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan mencari objek yang kami butuhkan. Cara ini lebih efektif ketimbang mengambil yang ada di lemari alat karena selain terkunci, gue malas kalau harus minta izin sama Kak Dirga.

Gue tersenyum simpul ketika mata gue akhirnya menangkap keranjang berisi sejumlah gelas kimia dengan berbagai macam ukuran di meja ujung ruangan. Melangkah mendekat, gue mencari yang ukurannya paling sesuai dengan kebutuhan.

Misi. Siapapun yang punya ini, beakernya gue pinjam satu, ya. Sebentar doang, kok! Gak bakal rusak dan gak bakal hilang juga. Oke?

Oke, deh!

Makasih, ya.

Iya, sama-sama.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang