1

52.2K 6.6K 813
                                    

Gue akan mencabut semua ucapan, pemikiran dan pujian-pujian yang pernah gue lontarkan mengenai Kak Dirga kurang lebih dua bulan yang lalu. Bahkan kalau bisa, gue sebenarnya udah gak mau lagi berurusan dengan dia, dengan seorang Dirga Angkasa.

Tapi sayangnya, semua itu hanya sebuah ketidakmungkinan yang selalu gue semogakan. Sudah terlambat untuk menyesal sekarang. There's no turning back. Kita udah terlibat terlalu jauh.

Ah, iya. Gue lupa sesuatu.

Pada akhirnya gue—dan Sisil—berakhir memanggil dia dengan sebutan "Kak" ketimbang "Pak" karena pertama, dia belum menikah, lebih-lebih punya anak. Dia bukan seorang bapak-bapak. Kedua, dia masih sangat muda, masih kepala dua. Ketiga, semua mahasiswa di fakultasnya memang memanggil dia dengan sebutan "Kak".

Mungkin, sebutan "Pak" itu hanya berlaku di antara mereka para dosen.

Atau mungkin juga, sebutan itu hanya sebuah singgungan supaya dia cepat-cepat menikah.

Oke, yang terakhir itu bukan urusan gue.

Tapi percayalah, jangan pernah menilai buku dari sampulnya. Karena yang menarik belum tentu yang terbaik.


•••


Dua bulan yang lalu ...


Gue panik karena Sisil bilang dia gak bisa ikut ke farmasi hari ini dan itu artinya, gue harus ke sana sendiri. Masalahnya adalah gue gak punya kendaraan buat ke sana. Dan, gue gak pernah ke sana. Gue bahkan gak tau gedung utamanya yang mana dan harus masuk lewat mana.

Haduh, pusing gue pusing!

Begini, gue adalah seorang introvert—walaupun gak ada yang percaya soal ini—dan berada di sebuah keramaian terutama lingkungan yang asing adalah sebuah big no bagi gue. Tapi Dahlia udah terlanjur bikin janji kemarin dan itu artinya mau gak mau gue harus ke sana. Ketahuilah, membatalkan janji dengan dosen itu nyaris haram hukumnya. Apa lagi kalau orang itu adalah orang yang gak kalian kenal sebelumnya.

Gue menghela napas pasrah. Ya sudahlah. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Menengok ke kanan-kiri, gue mencari siapa pun yang bisa gue jadikan sebagai target untuk mengantar gue ke farmasi. Karena kalau jalan kaki kejauhan dan kalau menunggu bus kampus kelamaan.

Dan ketika itulah gue menemukan Lucas dan adiknya, Diandra, sedang jalan ke mobil mereka.

Alhamdulillah.

Gak mau buang-buang kesempatan emas, gue memanggil Lucas. "Cas!" Gue berlari kecil menghampiri teman kelas gue itu.

"Oh? Kenapa lo?" Gue hanya menyengir dan Lucas udah memutar bola matanya. "Ke mana?"

"Hehe, farmasi."

Ya, Lucas udah hafal kebiasaan gue yang kalau udah cari-cari dia, pasti gak jauh-jauh dari minta diantar ke suatu tempat karena udah gak ada teman cewek gue yang bisa dimintai tolong lagi.

"Hah? Ngapain lo di sana?"

"Gak usah kepo. Pokoknya ada urusan. Boleh, kan? Boleh, dong! Masa iya gak boleh?"

Lucas mencibir. Ia menyentakkan kepalanya lalu masuk ke mobil. Gue ke pintu belakang lalu masuk ke dalam. Di bagian depan sudah ada Diandra yang duduk dengan tenang.

"Halo, Di. Nebeng, ya. Deket, kok."

Diandra hanya tersenyum simpul. Gak lama kemudian kita jalan.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang