[17] Drabble - Laksana

21 3 0
                                    

Nama			: Dewi Fajarani SarohUsername	: NovlightJudul			: LaksanaGenre			: Dark-AngstWords			: 456No

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nama : Dewi Fajarani Saroh
Username : Novlight
Judul : Laksana
Genre : Dark-Angst
Words : 456
No. Peserta : 17

Dengan senyum yang mengembang dan kulit legam karena sering terpapar sinar matahari, Laksana membuka pintu bambu yang sudah lapuk dengan pelan sembari memanggil ibunya.

“Bu! Ibu!” seru Sana dengan berbinar dengan nampan kosong di tangan kirinya.

Kaki pincang itu melangkah semangat dengan terus memanggil ibunya. Tidak lama, seorang wanita paruh baya berjilbab hijau lusuh menghampiri dari pintu dapur. Berdiri di hadapan sang anak dengan dahi berkerut.

Laksana duduk dengan girang seperti menang lotre. Kemudian Sana berujar, “Ibu tahu, Kak Deka anak pak Udin yang kuliah di kota? Ia mengajaku belajar dan itu, gratis!”

“Kamu tidak mengada-ngada ‘kan, Sana?” Ibu Tinah menghela napas.

“Kamu tahu bukan, bagaimana sifat pak Udin? Dia itu … licik.”
Laksana terdiam.

“Ini anaknya, bukan bapaknya.” Lagi pula, Sana akan melakukan apapun untuk bisa mengenyam pendidikan walupun itu tidak formal, seperti sekolah. Bukan kah? Negara yang maju dilihat dari warga negaranya yang pintar? Sana ingin membanggakan negerinya. Indonesia.

Anak lelaki berusia sebelas tahun itu meletakan nampan yang sedari tadi pegang ke meja, lalu memegang tangan ibunya. Seolah meyakinkan, semuanya akan baik-baik saja.
Ibu Tinah menatap sendu putra semata wayangnya. “Baiklah, semoga apa yang kamu inginkan terlaksana, seperti namamu Laksana. Membanggakan kedua orangtua dan negara tempat kamu dilahirkan.”

***

“Ibu, kak Deka berkata jika aku anak yang pintar. Lihat ini.” Sana menyodorkan buku tipis yang digunakannya belajar.
Ibu Tinah tersenyum. “Tulisanmu bagus, Sana. Ibu suka.”

Laksana begitu senang ibu memujinya. Tinah memang selalu memujinya, tetapi pujian kali ini terasa begitu berbeda seperti melihat lentera di hutan gelap, begitu bersinar dan menenangkan.

“Ibu, bisakah esok mengantarku ke rumah ayah? Aku ingin ia mengetahui jika aku bisa seperti yang dia katakana dulu.”
^^^

“Menurut Kak Deka, merdeka itu apa?”
“Apa, ya … merdeka itu sebuah kebebasan. Bebas dari segalanya. Bayaran dari sebuah pengorbanan juga. Itu menurutku,” jawab Deka.
Laksana berdiri dengan sedikit sulit.

“MERDEKA!”
Deka yang melihat itu tertawa, tetapi terdiam karena ujaran Laksana selanjutnya. “Aku sudah merdeka, dapat merasakan pendidikan darimu dengan mengorbankan uang lima ribu dari upahku berdagang untuk membeli alat tulis ini.”

“Aku bisa membantumu, Sana!” selak Deka karena merasa kasihan.
Laksana menggeleng. “Tidak, Kak. Aku bisa.”

“Tapi─”

Laksana tertawa. “Kejar aku, Kak!”
Deka yang melihat itu hanya diam. Tidak, bukan meremehkan, hanya saja Deka sedang melihat bagaimana Sana berjuang untuk merdekanya.
Kedua bola mata Deka membulat.

“Laksana!”
Laksana terkapar, perlahan matanya terbuka dan menyipit, ia tersenyum dan tangan kanannya terangkat di atas pelipis, memberi hormat. Bendera merah putih berikabar di kejauhan tetapi masih terlihat oleh Sana.

“Aku tahu arti merdeka. Aku tahu jika suatu hal harus dikorbankan. Perjuangan membutuhkan pengorbanan untuk merdeka. Aku sudah merdeka.”

“Kak Deka, terimakasih. Dan donorkan jantungku untuk adikmu yang sakit, karena dia akan melanjutkan perjuanganku. Aku sedang berkorban untuk kemerdekaan.”

Matanya tertutup. Namun senyum menghias di wajahnya.

···

«Terima kasih sudah membaca»

Event 73 Tahun IndonesiakuWhere stories live. Discover now