EIGHTEENTH

20.5K 2.5K 194
                                    

"Aku sudah sampai, kau dimana."

"Sebentar lagi sampai, Noona tunggulah disana."

"Cepat sampai atau dua jam mu akan terbuang percuma."

"Baik Noona."

Aku menutup telefon dan duduk merentangkan kaki di sofa milik Jihoon. Kurasa kewarasanku semakin lama semakin berkurang kadarnya. Aroma lavender yang memenuhi ruangan, persis aroma familiar yang Jihoon bawa kemana-mana menguar masuk ke dalam hidungku.

Dulu, ini adalah aroma favoritku.

Sedikit susah payah aku datang kemari. Agenda minum di balkon bersama Taehyung, Jungkook dan Jimin terpaksa berhenti sejenak saat aku pamit untuk keluar sebentar.

Dan jelas saja, Taehyung paling kekeuh menahanku untuk tidak pergi. Ya memang hak nya juga sih. Toh dia adalah majikanku.

"Kau tidak ada kerja paruh waktu hari ini." Nadanya begitu rendah dan dingin saat mengatakan itu, bahkan matanya menilikku tajam layaknya aku ini baru saja berbuat kesalahan fatal seperti mencuri uangnya atau merusak pakaian mahalnya.

"Aku hanya pergi dua jam. Dua jam. Tidak lebih!" tekanku saat itu dengan nada setengah memohon, meski aku tidak yakin Taehyung akan benar-benar membiarkanku pergi. Tatapan menyeramkan dengan suara rendah nan dinginnya itu bak sangkakala kematian yang siap menghantarkanku ke gerbang neraka kapan saja. Tak peduli kesalahanku hanya sekecil tidak sengaja menekan tombol dan mengganti saluran tv yang sedang ditonton oleh Taehyung atau sefatal membuat gosong dan berlubang kemeja Gucci miliknya, ia tetap menggunakan nada dan tatapan yang sama. Walau pada akhirnya ia merelakanku dengan berat hati, membuatku segera bangkit dalam sekejap dan bersiap pergi ke tempat Park Jihoon.

Omong-omong tentang kesepakatanku dengan Jihoon, meski aku tidak menyukai kesepakatan yang kami buat, tapi aku paling benci pada sesuatu yang tidak konsisten dan ingkar. Maka dari itu aku datang kesini atau mau tidak mau memang harus datang kesini untuk meladeni bocah kelebihan hormon yang satu itu.

Ya, semua perbuatan akan ada konsekuensinya. Dan kupikir ini salah satu dari apa yang telah kuperbuat selama ini.

Tombol password didepan pintu terdengar. Jihoon sudah sampai, sepertinya. Buru-buru aku memperbaiki duduk dan memasang raut sebiasa mungkin.

"Annyeong, Noona." Bocah itu tersenyum malu malu hingga kedua pipinya menggembung seperti kue mochi dan mataku tidak bisa berpaling dari bibirnya yang selalu tampak merah. Ranselnya masih melekat diatas panggung menandakan bocah itu baru pulang dari satu tempat. "Maaf membuat Noona menunggu. Aku baru selesai kuliah."

"Hm," balasku tanpa mau membuat kontak dengan matanya.

"Aku membawa ayam," sumringahnya sambil mengangkat kantong plastik berisi kotak kotak ayam kesukannya.

Dasar anak ayam!

Jihoon kemudian melemparkan tasnya begitu saja diatas sofa. Ia duduk setelah melepas sepatunya dan kaus kakinya masih melekat disana. Dengan semangat pula Jihoon membuka kotak-kotak ayam itu. Dia seperti bocah kelaparan yang tidak makan selama sepuluh tahun.

"Noona, ayo makan. Sini duduk disebelah Jihoon," katanya sambil menepuk-nepuk karpet didepanku. Dia sedang duduk dikarpet dan menggunakan meja sofa sebagai meja makannya.

"Aku masih kenyang."

"Aaaaa Noona, aaaaa..." Jihoon menyodorkannya sambil membuka mulutnya lebar secara mendadak ke depan mulutku. Membuatku reflek membuka mulut dan ayam itu segera mendarat didalam mulutku. Manis dan asin bersatu padu bersama.

HOUSEMATE ✔Where stories live. Discover now