"Gue nggak apa-apa," jawabku akhirnya. "Night, Ray."

Aku tidak menunggu balasan Rayen dan memutuskan sambungan. Bangkit berdiri, kulangkahkan kaki menuju meja di sudut kiri kamar. Meja itu dipenuhi berbagai peralatan gambar dan tumpukan kertas. Namun fokusku hanya tertuju pada kotak yang diberikan Tante Nia saat pemakaman.

Perlahan, aku duduk. Tanganku menyusuri permukaan kotak dengan lembut. Tergoda untuk membuka penutupnya, meski tak juga bergerak.

Apa isinya? Apa yang Ayah tinggalkan untukku?

Aku menghela napas, lalu menelungkupkan kepala di meja. Meskipun berduka, setidaknya aku tahu Ayah pergi dengan mudah. Dia pergi dalam tidurnya. Dia tidak kesakitan. Mengetahui itu saja sudah cukup untukku sekarang.

Tentu, aku masih sedih. Aku masih menangis. Masih merasa tidak percaya bahwa kini aku benar-benar seorang diri. Namun hidup terus berjalan dengan atau tanpa kesedihanku, dan aku harus menerimanya.

Kepalaku terangkat. Kupandangi kotak peninggalan Ayah dengan nanar.

Sanggupkah kubuka kotak itu sekarang? Apa yang akan kutemukan di dalamnya? Akankah isi dari kotak itu meringankan dukaku? Atau justru hanya menambah sayatan baru? Yang mana? Jawaban apa yang benar? Dan, mengapa aku begitu takut untuk membukanya?

Hingga pagi menjelang, aku tetap tidak mendapat jawaban. Dan, kotak itu tetap tidak terbuka.

***

Aku menghentikan mobil dan memandang keluar jendela. Rumah itu sudah berubah. Dulu, catnya berwarna oranye pudar, bukan karena termakan usia tapi karena dia menyukainya. Sengaja memilih warna pudar itu.

Dia—yang tak pernah ingin kuingat, namun selalu mengikuti setiap langkah—menghias rumah dengan warna-warna pastel juga barang-barang yang lucu. Kamarku dicat ungu, dengan langit-langit berwarna biru muda yang dilukis awan-awan gemuk. Aku juga masih ingat karpet bergambar Minnie Mouse yang dibelinya khusus untuk kamarku.

Kini, rumah yang menjadi tempatku pulang hingga akhir masa SMP dilapisi oleh warna putih. Halamannya dipenuhi mainan anak-anak, satu hal lain yang sangat kontras karena aku tidak pernah memiliki banyak mainan. Dia memastikan bahwa aku menghabiskan waktu untuk belajar dan menggambar. Bukan berarti aku tidak suka karena melakukan apa pun bersamanya sangat menyenangkan. Lebih membuatku bahagia dibanding makan es krim atau bermain kejar-kejaran.

Dia adalah seluruh duniaku. Pusat hidupku.

Melihat rumah itu, yang meskipun tak lagi menjadi milikku dan sudah berubah, tetap saja membuatku merasa sudah pulang. Aku bisa membayangkan senja yang kuhabiskan untuk menunggu Ayah sambil membantunya memasak. Begitu Ayah membuka pintu, aku pasti langsung berlari menyambut. Wajah lelah Ayah akan berganti senyum. Kami akan makan malam dengan makanan yang lezat, obrolan hangat, juga tawa yang mengudara.

Sebenci apa pun aku mengingatnya, tetap saja kenangan itu ada. Aku pernah bahagia di sana, bersamanya. Tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk melepaskan, masih tersisa bagian dari diriku yang terus bertanya-tanya. Mengapa aku harus selalu ditinggalkan?

Dering ponsel membuatku lepas dari pikiran yang berkecamuk. Tanpa sadar, aku sudah meneteskan air mata dan terisak-isak di dalam mobil. Begitu melihat nama Rayen tercantum di layar, aku segera menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa, Ray?" tanyaku.

"Lo ke mana?" balasnya. "Gue datang ke apartemen dan lo nggak ada."

Aku mendesah. "Lo tahu gue ambil cuti. Buat apa nanya lagi?"

"Tapi, lo ke mana?" kejar sahabatku. "Lo pergi tanpa bilang apa pun ke gue. Lo sama Juan?"

"Gue ke Bandung," jawabku akhirnya. "Sendiri. Juan tahu gue butuh waktu buat menenangkan diri. Sori gue lupa ngabarin lo. Gue balik ke Jakarta minggu depan."

Hening. Bisa kubayangkan wajah Rayen yang berkerut cemas. Meski sering membuatku kesal, tak bisa kupungkiri dia adalah orang yang paling peduli padaku.

"Fine, gue nggak bakal ganggu lo," ucap Rayen. "Tapi lo harus janji buat langsung telepon gue kalau ada apa-apa. Termasuk kalau lo susah pup."

Sebuah tawa kecil lolos dari bibirku. "Apa kata lo deh. Sudah ya, gue masih di jalan ini."

"Ly?"

Urung memutuskan sambungan, kutunggu kelanjutan ucapan sahabatku itu.

"Kenapa, Ray?" tanyaku.

"Cepat pulang. Jangan lama-lama di sana. Gue tunggu."

Begitu telepon ditutup, tanpa daya kubiarkan tanganku terkulai di pangkuan. Kedua mataku kembali memandangi rumah yang sudah bukan milikku. Membiarkan rindu dan perih berkumpul, memaksa tetes bening turun.

Aku tersenyum pilu dan memanggil dua orang yang tak lagi berada dalam hidupku.

***    

Halooo! Aku agak sedih, Rayen nggak dapat sambutan hangat. Hahaha tapi nggak apa-apa, aku bakal tetap post sampai tamat. Jangan lupa tinggalkan jejak dan ajak teman kalian buat baca yaa ^^

As Always, I Love... (Eternity #2)Where stories live. Discover now