Anggit menimpali, "Hal-hal baik memang baru bisa terjadi kalau Rayen sakit."

Aku tertawa. Anggit selalu bersikap seperti itu pada Rayen. Mungkin hanya Anggit satu-satunya gadis di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh pesona Rayen. Mereka memang tidak pernah bertengkar serius, namun baik Anggit maupun Rayen selalu menemukan bahan untuk mengejek satu sama lain setiap kali bertemu.

Setelah sahabat-sahabatku pergi untuk mengambil minum, Juan kembali merangkul bahuku. Aku menghabiskan sisa malam itu dengan berada dalam pelukannya. Merasa ada sesuatu yang mengganjal, namun tidak tahu penyebabnya.

"Lyrra!"

Aku tersentak, kepalaku otomatis mendongak. Seruan itu sukses menarikku kembali pada realita. Kini, di hadapanku berdiri Rayen dengan setelan olahraga favoritnya; celana training dan kaus polos yang dilapisi jaket. Rambutnya terlihat agak basah, namun tidak ada peluh pada wajahnya. Aku baru akan bertanya tentang itu ketika suaranya kembali terdengar.

"Ly! Kok lo nggak jawab?!" lanjutnya semakin lantang.

"Apa, sih? Lo ketularan Anggit deh, doyan banget teriak-teriak," protesku.

"Dia yang ngikutin gue kali, kan diam-diam ngefans sama gue makanya tiap ketemu ngajak ribut," kilahnya. "Lo ngapain duduk di sini?" Rayen meletakkan tas yang dibawanya dan duduk di depan pintu apartemennya.

Aku menaikkan alis. "Lo sendiri kenapa malah ikutan?"

Rayen melipat kakinya, lalu menjawab, "Capek. Nggak kayak sebagian orang yang suka ngelamun di hari Minggu pagi, gue pergi olahraga."

Aku mendengus.

"Lo nggak ketemuan sama bokap lo?" tanya Rayen kemudian.

"Ini baru balik," jawabku.

Hening. Rayen menatapku, sementara aku menatap lantai dengan tangan memeluk lutut.

Minggu pagi adalah waktu khususku bersama Ayah. Sejak aku masuk ke sekolah menengah atas, tidak ada satu hari Minggu yang terlewat tanpa makan bubur di warung Pak Sigit. Meskipun terlihat biasa dan sederhana, jadwal rutin kami itu membuatku sangat bersyukur. Karena aku masih bisa menikmati waktu bersama Ayah dan merasakan kebahagiaan dari hal-hal kecil bersamanya.

Benakku kembali berkelana pada sarapan tercanggung yang pernah kulakukan bersama Ayah, tadi pagi.

"Gimana pekerjaan kamu?" Pertanyaan standar dari Ayah membuka rutinitas kami.

Aku meletakkan tas, lalu menggelung rambutku menjadi satu di belakang.

"Lancar," jawabku. "Proyek pembangunan apartemen di Jakarta Utara sebentar lagi selesai. Aku sudah balik ke kantor pusat, tinggal nunggu penempatan buat proyek selanjutnya."

"Permisi," ucap Pak Sigit seraya meletakkan mangkuk bubur di hadapan kami.

"Makasih, Pak," balasku.

Meskipun warung tendanya ramai pengunjung, terlebih di waktu sarapan seperti ini, Pak Sigit selalu meluangkan waktu untuk menyapa kami. Kali ini, tidak seperti biasa Pak Sigit berhenti lebih lama dan melakukan hal yang lebih dari sekadar basa-basi.

"Saya iri kalau lihat Neng Lyrra sarapan sama bapaknya." Pak Sigit berujar dengan senyum tipis. "Anak saya aja sekarang nggak pernah mau lagi pergi sama saya."

Aku mengerjap, sementara tawa Ayah berderai. Seluruh wajahnya menjadi cerah karena tawa itu dan hatiku menghangat. Mendengar tawa Ayah adalah salah satu hal yang paling kutunggu dari hari Minggu.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang