5. Keanehan

6.2K 193 7
                                    

Ada selang waktu dua puluh detik setelah pertanyaan yang ditujukan Yere padaku. Jujur saja, aku tidak tahu hendak menjawab apa. Dan, dari tatapannya, dia seolah mendesakku untuk sesegera mungkin menjawabnya.

Bisa dibilang tipikal Yere adalah orang yang sangat jarang berbicara serius. Karena biasanya dia akan selalu bercanda. Dan, jika saja suasana bahasan keluarga sedang serius, dia lebih memilih untuk ke kamarnya daripada melihat, atau mendengar bahasan itu lebih lanjut.

"Maksudnya?" Aku berpura-pura tidak paham. Karena aku belum mengerti, kenapa tiba-tiba Yere menanyakan hal ini.

"Come on, Kak Sere. Kakak itu cerdas, tapi, kenapa pertanyaan sesimpel ini nggak bisa Kakak jawab?" ucapnya.

Aku tahu, dari sorot matanya, kali ini menyiratkan keseriusan lebih. Hanya saja, masih belum bisa kuucapkan alasan apa yang mendasari diriku untuk menjawabnya.

"Kakak nggak ngerelain kebahagiaan Kakak. Kakak bahagia dengan pilihan Kakak ini," jawabku. Ya. Aku sendiri masih mencoba meyakinkan diri untuk setuju dengan pernyataanku barusan.

Yere menutup bukunya. Kali ini fokusnya sepenuhnya padaku; untuk pertanyaan itu. Masalahnya bukan pada tatapan intimidasi dari iris hitam tersebut, melainkan pertanyaan yang ditujukannya.

"Yakin?" Yere menaikkan satu alisnya. "Kok aku nggak ngerasa begitu, ya?"

Aku mengernyit, sekarang, kurasa aku tahu arah percakapan ini. Sebisa mungkin, kurangi kemungkinan diriku tampak mengetahuinya. "Emang gimana?"

Yere tertawa. "Kak Sere, jangan pura-pura bodoh. You know the truth, I know the truth, and our parents, too. Semua tahu kalau Kakak nggak bahagia." Yere menjeda ucapannya sambil menatapku. "Dan lucunya, sekarang Kakak malah menyetujui pernikahan itu."

Sudah kuduga. Yere itu anaknya sebenarnya cerdas, tetapi, jika dia tidak suka dengan suatu hal dia akan menolak untuk tahu dan memahami hal tersebut.

"Aku bahagia, makanya aku menyetujuinya."

"Did you think, 'little white lie don't hurt anybody' is the right motivation in this fucking situation?!" Suara Yere meninggi di akhir kalimat.

"Stop, Yere! Ini keputusan Kakak. Sudah Kakak pikirkan matang-matang, ini yang terbaik. Kita bisa apa? Kakak bisa apa? Kamu bisa apa?" Sebisa mungkin kutahan emosiku. Aku membenci situasi seperti ini.

Aku tahu, sebenarnya ini karena perhatian Yere padaku. Yere-lah satu-satunya orang yang sangat mengetahui diriku, bahkan lebih mengetahuiku lebih dari Ibu dan Ayah.

"Aku tahu, aku juga nggak bisa lakuin apa-apa, Kak. Aku cuma bocah yang bisanya nyusahin kalian semua, kan?!" Dada Yere naik turun mengucapkan itu.

Aku menggeleng pasti. "No! You're not! You are my best little brother."

"Tambahin; nyusahin dan bego!" balasnya sarkas. "Aku yakin, aku disini cuma pengganggu, perusak, tukang nyusahin, kan? Aku nggak bisa apa-apa selain berat-beratin beban kalian, kan?"

Aku merasa sakit mendengar Yere mengucapkan kalimat itu. Yere adikku yang terbaik, adikku yang paling membanggakan, dan dia bukan beban.

Ingin aku mengucapkan itu semua, tapi, nyatanya kalimat itu tersangkut di tenggorokanku. Yang mampu keluar hanya tangis dari diriku.

Aku masih menggeleng untuk menjawab pertanyaan bodoh Yere tadi.

"Kakak cuma diam? Apa karena itu fakta?! Apa karena semua yang---"

Kudaratkan satu tamparan ke pipi kirinya. Dia bodoh!

Aku sudah bilang, dia bukan beban, dia adalah anugerah. Dia adalah yang terbaik.

Dictator Husband [17+]Where stories live. Discover now