3. Perubahan

7.3K 221 3
                                    

Pagi ini, aku bangun lebih awal. Padahal, jujur saja, aku sulit tidur semalaman, memikirkan segala macam hal yang harus kulakukan. Hari ini, aku sudah memutuskan semuanya.

Hari ini aku memutuskan untuk mengembalikan beasiswa itu. Siapa tahu, ada orang yang lebih layak lagi mendapatkannya dibandingkan denganku.

Tadi malam, setelah menyetujui permintaan Ayah---yang sejujurnya masih berat kusetujui. Aku sibuk menimbang segala probabilitas yang terjadi. Aku menangis di atas kasur hingga pukul dua dini hari. Itu adalah rekor tangisku yang terlama setelah aku puber.

Bisa dibilang, tadi malam aku cukup nekat menyetujuinya, hanya saja, Ayah tak memberiku pilihan lain.

Membayangkan pernikahan saja, sudah membuat kepalaku pusing. Apalagi muka senang si tua bangka itu. Ugh, walau berat, aku mencoba sebisa mungkin menurut.

Pukul lima lebih tiga puluh menit. Aku berencana menyiapkan sarapan. Bisa dibilang, ini kali pertama aku bangun sepagi ini untuk membuatkan sarapan. Padahal, biasanya Ibu akan teriak-teriak dari dapur untuk memanggilku agar membantunya memasak.

Aku mengikat rambutku asal, lalu berjalan menuju dapur. Ibu tampak sudah ada di dapur. Baru selesai mencuci muka sepertinya.

"Pagi, Bu," sapaku.

"Tumben bangun pagi. Ada apa?" Sudah kubilang, kan? Bahkan Ibu saja heran.

Aku tersenyum. Setelah kejadian semalam, aku memutuskan untuk menuruti kemauan kedua orang tuaku. Meski, konsekuensinya aku harus merelakan cita-citaku untuk kuliah. Tetapi aku yakin, orang tua pasti tahu yang terbaik bagi anaknya.

"Mau bantu aja, nggak boleh, nih?" Aku mengambil alih pisau Ibu, lalu mengambil wortel yang ada di tangannya, dan memotong wortel itu.

Ibuku sedikit tertawa. "Ada angin apa, ini? Tumbenan banget. Nggak biasanya."

"Ih, anaknya mau rajin, salah. Anaknya malas juga salah," kataku dengan nada pura-pura kesal.

Ibu lalu menjawil hidungku. "Bukan gitu, Sere. Ibu senang kamu rajin. Senang, sekali. Cuma, aneh aja, masa tiba-tiba begini."

"Aku kan juga mau jadi calon Ibu rumah tangga yang baik, Bu. Jadi harus belajar dari sekarang, kan?" Apa aku terkesan memaksakan? Entahlah, hanya saja, aku harus berlagak sangat senang dengan keputusan ini.

Ibu terkekeh sedikit, gurat tawanya menandakan betapa bahagianya dia. Yah, meski sejujurnya aku merasa bersalah, karena selama ini aku selalu berpikir bahwa Ibu sangat senang melihat diriku tersiksa. Padahal, nyatanya, aku sempat mendengar percakapan Ayah dan Ibu sesaat sebelum aku tidur kembali.

Semalam, saat pukul sebelas lebih empat puluh menit, aku ke dapur untuk minum. Tetapi, saat aku hendak naik ke kamarku lagi, aku mendengar percakapan Ayah dan Ibu.

--

"Bu, aku kira, kita akan sulit meyakinkan Sere tentang pernikahan sialan ini." Hakim terdengar sedikit bergetar mengucapkan itu.

Hera di hadapannya mengangguk setuju. "Ibu juga berpikiran seperti itu, Yah." Jeda lima detik. "Ibu selalu sakit ketika melihat Sere dilecehkan seperti itu...."

Isakan mulai terdengar dari bibir Hera. Hakim hanya mengelus punggung Hera. "Sudah, Ayah tahu perasaan Ibu. Ayah yakin ini berat bagi Ibu; Ayah juga demikian. Tetapi, mau bagaimana lagi, Danny sudah meminta."

Hera memeluk Hakim, lalu kian terisak dalam dekapannya. "Ibu sakit, Yah. Setiap kali melihat tatapan marah Sere pada Ibu, ketika Ibu tersenyum melihat kejadian yang sangat membuat hati Ibu sakit."

Dictator Husband [17+]Where stories live. Discover now