Aku Di Sini

430 32 13
                                    

Setelah seminggu mengunjungi Kakaknya yang sedang sakit akibat kecelakaan lalu lintas, akhirnya Erika memutuskan untuk pulang.

Sebenarnya ini bukan kemauan Erika, hanya saja ia sudah seminggu tidak masuk sekolah dan Ayahnya memaksa dirinya untuk kembali ke Jakarta. Malam ini Erika tengah di dalam pesawat tujuan Tokyo-Jakarta seorang diri. Ini bukan kali pertamanya ia pulang ke Jakarta sendiri, sudah hampir tiga sampai empat kali ia pulang sendiri seperti ini. Ia sudah terbiasa dan tidak takut lagi.

Erika menatap seorang perempuan paruh baya yang duduk di sebelahnya, perempuan itu sedang tertidur pulas. Erika melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ini sudah pukul tiga pagi tapi matanya masih belum tertutup juga. Ia menghela nafas pelan, kembali memalingkan kepalanya ke arah jendela pesawat. Apa kabar teman-temannya saat ini? Seminggu tidak bertemu ia rindu suara cempreng Aqila. Dan juga dia.

Seminggu lalu tepat jam enam sore ia mendapatkan telephone dari Kakeknya yang tinggal di Tokyo, Kakeknya memberita kalau Haru mengalami kecelakaan beruntun yang membuatnya mengalami luka yang cukup parah. Saat itu Takuma dan Erika langsung bergegas memesan tiket pesawat dan malam itu juga mereka berdua terbang menuju Tokyo.

Sebenarnya bukan hanya memikirkan kondisi Kakaknya yang masih koma tapi saat ini Erika tengah menyesali keteledorannya karena ia lupa membawa ponselnya. Alhasil ia pun tidak bisa memberitahukan teman-temannya kalau dia menghilang seminggu ini karena pergi menemui Kakaknya di Tokyo. Tapi, untung saja ia kembali ke Jakarta saat ini, meskipun ia masih ingin tinggal di Tokyo menemani Kakaknya yang baru saja sadar dari koma.

Setelah memaksakan matanya untuk terpejam akhirnya energi Erika sedikit terisi, meskipun kantung matanya mulai menghitam karena kurang tidur. Bagaimana tidak, seminggu ini, ia bolak balik rumah sakit dan secara otomatis jam tidurnya pun terganggu.

Meskipun baru saja pulang dari perjalanan jauh, Erika memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah. Ia menghela nafas pelan saat melihat pantulan dirinya di depan cermin. Siap-siap saja ia di hujani beberapa pertanyaan nantinya. Apa lagi saat dirinya hilang seminggu ini.
Erika seketika teringat sesuatu, dengan cepat ia pun berbalik. Mencari keberadaan ponselnya. Setelah ketemu, yang ternyata ada di meja belajar, ia pun langsung menyalakannya, tapi ternyata sial, benda itu tidak menyala, sepertinya batrainya habis.

"Eh?!" Bola mata Erika seketika terbelalak saat ia melihat jam. "Mampus, udah jam tujuh kurang sepuluh menit." Dengan cepat ia mencharger ponselnya dan secepat mungkin mengambil tasnya dan lari ke luar rumah.

                                 ---

"Kenapa lo ga ngasih kabar sih Erika?!"

Aqila geregetan sendiri melihat tingkah sahabatnya ini. Bagaimana tidak, setelah menghilang seminggu bagai di telan bumi, tiba-tiba saja Erika datang ke sekolah di saat jam pelajaran sudah di mulai. Awalnya Erika tidak di perbolehkan untuk masuk ke kelas karena dirinya datang terlambat dan di tambah ia tidak masuk sekolah selama seminggu. Alhasil, ia pun langsung masuk ruang BP dan tidak mengikuti jam pelajaran pertama. Baru di jam  istirahatlah ia di perbolehkan kembali dan bertemu sahabatnya ini, sekaligus ia bisa menceritakan semua rangkaian kejadian selama seminggu ini.

"Ya tapi kan ada Instagram, seengganya kalau emang lo ga bawa HP kan lo bisa DM gue lewat Instagram. Pake handphone bokap lo."

"Aku lupa kata sandi," balas Erika santai.

"Ih..." Aqila mencubit lengan Erika. Sebal dengan jawaban sahabatnya itu.

"Ih..." Erika menjauhkan tangan Aqila dari lengannya. "Sakit Aqila..." Protes Erika kesal.

"Bodo, lebih sakitan gue di tinggalin lo, tau ga sih?!"

"Alay!" Balas Erika cepat.

"Ye... kok lo gitu sih." Aqila meraih lengan Erika dan melingkarkan lengannya di lengan gadis itu. "Mau makan apa di kantin?"

"Makan Soto!" Jawab Erika mantap. Ia sudah rindu berat soto bude Mira.
Setelah pesanan mereka berdua sampai, Aqila dan Erika langsung menyantap makan siangnya tanpa menunggu lama. Erika sudah kelaparan dari tadi, dan ia baru ingat ia belum makan apa pun sejak semalam.

Saat Erika sedang sibuk menyantap sotonya, tiba-tiba saja matanya tanpa sengaja menangkap Panji sedang memesan soto. Melihat Panji, seketika ia teringat Victor. Ia baru ingat ia sudah lama tidak menghubungi anak laki-laki itu.

"Panji!" Panggil Erika kencang, membuat Panji seketika menoleh.

Panji memalingkan wajahnya mencari seseorang yang memanggilnya. Di sana, tepat di meja kantin tak jauh dari dirinya ada seseorang yang sedang melampai ke arahnya. Itu Erika.

"Bude, sotonya satu. Tolong di antar di meja sana ya," Panji menunjuk meja di mana ada Erika dan Aqila di sana.

Setelah Bude menjawab Panji pun langsung menghampiri Erika.

"Erika? Lo kemana aja?" Itu lah kata pertama yang Panji ucapkan setelah ia ada di hadapan Erika. Anak laki-laki itu pun duduk di samping Aqila, ikut bergabung dengan Erika dan Aqila.

"Oh iya, Panji setiap hari ke kelas, cariin lo, Er. Gue lupa bilang," ucap Aqila setelah menuntaskan kunyahannya.

"Kamu nyariin aku, Nji?" Tanya Erika bingung. "Kenapa?"

"Bukan gue yang nyariin lo. Tapi si Victor."

"Victor?" Erika diam sejenak. "Terus sekarang Victornya mana? Kok ga ikut ke kantin?"

"Malam ini Victor berangkat ke Thailand."

Erika yang saat itu sedang minum minumannya seketika tersedak saat mendengar jawaban Panji. Melihat hal itu, Aqila pun dengan cepat memukul pundak Erika.

"Lo gapapa, Er?"

Erika mengatur nafasnya. Setelah beberapa detik terdiam. Ia pun kembali ke pokok pembicaraan.

"Apa kamu bilang, Nji? Victor mau ke Thailand? Ngapain? Mau tanding? Bukannya dia harus ke Bogor dulu baru ke Thailand, ya?"

"Sekarang dia udah di Bogor."

"Eh?" Erika tampak kaget setelah mendengar ucapan Panji.

"Lo tau ga sih, Er. Victor tuh udah kaya orang gila nyariin lo waktu dia mau berangkat ke Bogor, soalnya waktu itu mendadak banget pemberitahuan berangkat ke Bogornya. Dia beraniin diri dateng ke rumah lo tengah malam. Tapi lo nya ga ada di rumah," jelas Panji. "Terus, setiap malam kalau dia sempat main handphone, dia pasti telephone gue nanyain lo masuk sekolah atau engga. Lo tuh parah tau ga, Er. Lo kemana aja sih seminggu ini?"

"Kakakku di Jepang kecelakaan, jadi aku ke sana," jawab Erika pelan.

"Terus kenapa lo ga jawab telephonenya Victor? Terus juga kata Victor sekarang handphone lo ga aktif?"

Erika menundukan kepalanya. "Aku lupa bawa handphone," jawabnya lemas. "Terus nanti penerbangan Victor jam berapa?"

"Jam lima sore."

Mendengar ucapan Panji, Erika langsung melirik jam di pergelangan tangannya.

"Percuma lo ke sana," ucap Panji yang membuat Erika langsung mengangkat kepalanya. "Dia terbang ke Thailand buat tanding, bukan buat liburan. Jadi keluarga ga di perbolehkan nganter. Pertemuan terakhir itu, waktu dia di antar ke Bogor. Selebihnya ga boleh."

"Eh? Kok gitu?"

"Ya emang gitu peraturannya. Makanya waktu itu dia beraniin diri dateng ke rumah lo walaupun udah tengah malam. Tapi lo nya ternyata ga ada."

Erika terdiam. Mencoba mencerna segala penjelasan Panji. Sampai di sadar kalau dia harus hubungi Victor saat ini juga.

"Handphone," ucap Erika. "Nji, handphone kamu mana?"

"Kenapa?" Balas Panji bingung.

"Sini buruan." Erika sudah tidak sabaran. Saat Panji baru saja mengeluarkan Ponselnya dari saku, Erika langsung mengambilnya. "Eh, bukain sandinya dulu."

Setelah Panji membuka sandi ponselnya, Erika pun langsung membuka aplikasi line. Benar saja, ada pesan dari Victor di sana. Dengan cepat ia pun langsung membukanya.

Erika belum masuk sekolah juga?

Aduh ke mana  sih cewek itu.

Panggilan tidak terjawab.

Udah ada kabar dari Erika belum?

Sumpah, cewek itu ngilang di saat kaya gini, bikin latihan gue ga fokus.

Erika membaca semua pesan yang ada di sana. Semua isi pesan itu bertuliskan semua ke khawatiran Victor akan dirinya. Tanpa pikir panjang, Erika pun langsung menghubungi Victor.

"Eh, lo ngapain?" Tanya Panji saat ia melihat Erika menempelkan ponsel di telinganya.

"Telephone Victor," jawab Erika.

"Percuma, ga bakal di angkat. Jam segini dia lagi latihan."

Erika menghela nafas kasar, lantas langsung mengembalikan ponsel Panji. Namun tak lama ia teringat, dengan cepat ia pun mengambil kembali ponsel Panji. Membuat Panji seketika kaget.

Aku di sini. Jangan khawatir. Maaf udah bikin kamu khawatir. -Erika.

Sand. Pesan terkirim.
                                  ---
"Ini udah jam empat lewat, ayo cepet." Erika menarik lengan Aqila. "Panji cepat jalannya." Erika berteriak agar Panji sesegera mungkin mengikuti langkah kakinya.

Kali ini Erika, Aqila dan Panji sudah berada di Bandara Soekarno-hatta. Baru saja tadi pagi Erika ada di Bandara ini dan sekarang ia pun kembali berada di Bandara ini. Erika terus berlari menuju terminal 3, tempat di mana Victor sedang menunggu di sana.

Gadis itu pun terus memalingkan wajahnya, mencari keberadaan Victor yang bisa saja terlewat dari pandangannya.

"Woy, Victornya di sana." Panji berteriak, membuat langkah Erika dan Aqila seketika terhenti. Mereka memalingkan wajah ke arah yang sedang di tunjuk Panji. Benar saja di sana, tepat di sebuah kursi ada sekelompok pemuda dengan tiga pria dewasa sedang duduk mengobrol di sebuah kursi.

Erika berniat untuk menghampiri, namun seketika niatnya tertahan saat Panji menahannya. "Jangan ke sana," ucapnya. "Itu ada pelatihnya, kalau lo ke sana. Yang ada malah Victor yang di marahin."

"Kok gitu?" Tanya Aqila bingung.

"Ya gitu deh, kalau gue jelasin pasti lama nanti," Panji mengambil ponsel dari saku celana abu-abunya. "Bentar, gua coba hubungin dia dulu."

Panji mencoba menghubungi Victor beberapa kali. Namun panggilan telephonenya tidak juga kunjung di jawab.

"Ga di angkat," ucap Panji.

"Eh, eh, itu Victor mau ke mana tuh," ucap Aqila tiba-tiba. "Sendirian."

Tanpa tunggu lama Erika langsung berlari mengejar Victor. Di ikuti Panji dan Aqila di belakangnya. Dari arah yang sedang di tuju Victor, rasanya anak laki-laki itu sedang menuju toilet. 

Telat. Saat Erika sudah dekat dengan Victor. Anak laki-laki itu terlebih dahulu menghilang dan masuk ke dalam toilet, membuat Erika terpaksa menunggu di luar. Tidak mungkin juga ia masuk ke dalam toilet laki-laki.

Setelah menunggu kurang lebih lima menit, akhirnya seseorang yang di tunggu muncul.

"Victor," panggil Erika.

Victor yang saat itu sedang sibuk merapikan pakaiannya seketika berhenti. Erika muncul dan mendekat, membawa senyuman yang terukir di bibirnya. Victor seketika terdiam, tubuhnya seakan membeku. Hanya saja matanya tanpa henti menatap Erika. Seakan tidak percaya bahwa seseorang yang membuatnya khawatir seminggu ini tiba-tiba muncul di hadapannya.



Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Sep 27, 2018 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Complementary HeartKde žijí příběhy. Začni objevovat