Hujan di Sore Hari

838 222 118
                                    

Malam ini Erika terpaksa memutar jalan untuk pulang ke rumahnya. Sebenarnya ia malas, terlebih lagi jalan yang sekarang ia lewati harus memutari sebuah taman yang cukup luas.

Saat ia sedang melintasi sebuah taman, samar-samar ia melihat sebuah mobil sedan putih terparkir di sisi kanan taman ini. Mobil yang tampak tidak asing di penglihatannya. Erika melirik plat nomornya. Ternyata benar, pantas saja terasa tidak asing, itu mobil Dimas.

Erika penasaran dengan apa yang sedang Dimas lakukan di dalam taman ini. Ia pun mengurunkan niatnya untuk pulang, berbelok dan masuk ke dalam taman yang di beri nama green garden ini.

Pemandangan saat malam di taman ini cukup indah. Banyak lampu wana-warni yang sengaja di gantungkan di atas pohon. Membuat kilauan cahayanya seakan menghidupkan tempat ini.

Saat matanya sibuk memandangi tempat ini, tak sengaja bola mata hitamnya menangkap sosok Dimas tengah duduk di salah satu kursi di sana.

"Kak Dimas?" panggil Erika pelan.

Mendengar ada yang memanggil namanya, Dimas langsung mengalihkan pandangannya. Seketika matanya membesar saat melihat Erika tengah berdiri di hadapannya.

Erika mengalihkan pandangannya, melihat tangan Dimas sedang menggenggam erat pergelangan tangan Sheila.

Sadar sedang di perhatikan, Dimas pun langsung melepaskan genggaman tangannya dari jemari Sheila. Ia beranjak. "Tunggu, ini ga kaya yang kamu lihat."

Sheila seketika panik, ia pun bangkit dari kursinya. "Erika, ini-ini gak kaya yang kamu lihat."

Seperti tertembak anak panah tepat di jantungnya, seketika membuat dada Erika terasa sesak. Ia mengalihkan pandangannya. Marasakan retakan di hatinya semakin membesar saat melihat kejadian seperti ini lagi. Ia menghela nafas, seharusnya ia tidak datang ke sini.

Erika berbalik. Berusaha menutupi buliran air yang mulai membasahi matanya. Ia tidak menyangka akan melihat hal seperti ini lagi. Dimas menghancurkan perasaannya, Dimas mengkhianati kepercayaannya. Tapi ia bisa apa? Bahkan di saat dirinya sudah berkali-kali melihat kejadian ini, mulutnya masih tidak bisa berkata apa-apa.

Melihat Erika berbalik dan menjauh, Dimas langsung berlari untuk menahannya. Meraih pergelangan tangan gadis itu. "Erika, ini-ini gak kaya yang kamu lihat."

"Gak yang kaya aku lihat?" tanya Erika dengan nada sedikit bergetar. "Terus yang seharusnya aku lihat kaya gimana?"

Dimas meraih bahu Erika, meletakan tangannya di sana. "Sayang, ini-ini—"

"Udah lah, Kak." Erika menyingkirkan lengan Dimas dari bahunya. "Lagi pula aku udah sering liat Kak Dimas sama Sheila kaya gitu."

Dahi Dimas mengerut. "Maksud kamu?"

"Aku lihat semuanya!" Erika menyeka air mata yang hampir jatuh. "Pertama, aku lihat Kak Dimas lagi sama Sheila waktu kalian ada di resto. Kedua, aku liat Kak Dimas jemput Sheila di halte sekolah. Ketiga, aku lihat kalian di ... sini."

"Tapi—"

"Tapi apa, Kak? Tapi semuanya gak kaya yang aku lihat? Aku punya mata, Kak." Erika menunjuk-nunjuk matanya. Nada bicara semakin meninggi. Rasa sesak di dalam dadanya seakan menikam dirinya.

"Udah lah, Kak. Mungkin aku emang ga cocok sama Kak Dimas. Dari awal hubungan ini emang seharusnya gak pernah ada."

"Maksud kamu?"

"Mungkin ini waktu yang tepat buat kita selesai. Maaf buat semuanya, Kak. Makasi udah jadi orang pertama yang hadir di hati aku. Makasih buat semuanya. Maaf."

Complementary HeartWhere stories live. Discover now