Kecurigaan

852 302 173
                                    

Selesai menemui Erika dan menanyai maksud gadis itu datang ke rumahnya, Victor langsung masuk ke dalam. Melangkah menuju kamar Chintia. Untungnya kamar Mamanya itu tidak dikunci, membuat ia bisa langsung masuk ke dalamnya.

"Ma, kenapa sih Mama ga bilang kalau yang ngajarin Victor itu, si Ciput."

Chintia yang sedang membereskan lemari pakaian langsung menghentikannya. Berbalik, mendekati anaknya yang kini tengah berdiri di depan tempat tidur. Ia mengernyit, tidak mengerti maksud ucapan Victor tadi. "Ciput? Ciput siapa?"

"Hah? Eh, maksud Victor si Erika."

"Oh ... Jadi kamu udah kenal sama dia, Mama pikir kamu cuma kenal sama samsak aja." Chintia terkekeh. Menatap wajah anaknya jahil.

"Ah, ga lucu Ma," balas Victor sebal. "Victor ga mau ah diajarin sama dia. Dia itu kaya patung Ma, diem banget, mana bisa dia ngajarin Victor. Yang ada nanti Victor ga ngerti-ngerti."

Chintia menggeleng. "Itu sih alasan kamu aja. Erika tuh kayanya cocok sama kamu. Dia emang pendiam, tapi dia biasa ngajarin anak macam kamu." 

Victor mendengus kesal. "Tapi, Ma--"

"Yaudah kalau kamu ga mau belajar, dan ga dapat peringkat lima besar. Lupain aja kompetisi tinju itu."

"Ah, Mama ..." rengek Victor sambil menggerakan lengan Mamanya. Chintia bergeming, sengaja mengalihkan pandangan dari wajah anaknya. Victor menggerutu kesal, namun Mamanya itu malah mengacuhkannya. Dengan kesal ia pun melepaskan lengan Chintia.

"Yaudah, yaudah. Victor belajar sama dia. Tapi Ma, peringkat lima besar itu susah. Lima belas besar deh ya."

"Kamu protes saja sama Papa kamu!"

Victor mengacak rambutnya frustrasi. Bisa apa dia kalau protes ke Wildan, Papanya. Pastilah Papanya itu bukannya memberi keringanan yang ada malah menambahnya.

"Yaudah, yaudah. Victor nurut deh." Ia berdecak kesal. Berbalik. Melangkah keluar dari kamar Chintia dan menutup pintu kamar itu kencang.

❇❇❇

Dengan terpaksa akhirnya Victor menurut apa kata Mamanya. Selama ini ia hanya bisa mengadu pada perempuan itu. Perempuan itu begitu perhatian pada dirinya. Berbanding terbalik dengan Papanya. Tapi, jika Chintia sudah membawa-bawa nama Wildan, ia bisa apa. Mau tak mau ia pun harus mengikuti kehendak Papanya itu.

"Kita mau mulai dari pelajaran apa?" tanya Erika. Kali ini mereka sedang ada di halaman belakang rumah Victor. Erika memilah-milah buku yang ia pinjam dari perpustakaan tadi. "Mau Matematika aja?"

Mendengar kata Matematika membuat Victor menggeleng cepat. "Engga-engga. Yang lain aja."

"Apa? Fisika?" Erika sekali lagi bertanya. Tapi kepala Victor terus saja menggeleng. "Kimia?"

"Kak Vicky, Kak Vicky!" suara teriakan memanggil nama seseorang terdengar jelas dari dalam rumah.

Victor mengalihkan pandangannya, mencari seseorang yang sedang memanggil-manggil nama Kakaknya. "Heh, centil!" panggil Victor kencang, membuat gadis yang sedari tadi berteriak di dalam rumah langsung menoleh.

Gadis itu mendekat. "Bang Victor. Kak Vicky kemana sih?"

"Lo ga liat jam? Jam segini pasti si Vicky belum pulang les."

Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganya. Ini baru pukul lima sore, pantas saja Kakak pertamanya itu tidak ada di rumah. "Oh iya, aduh gue lupa lagi, Bang."

Gadis dengan seragam SMP itu mendapati Kakaknya yang sedang tidak sendirian. Di depan Victor sekarang ada seorang gadis yang sepertinya sepantaran dengan Kakak keduanya itu. Ia menurunkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Victor. "Itu pacar lo, Bang?"

Complementary HeartWhere stories live. Discover now