Putusin Aja!

920 260 161
                                    

Apa kalian semua punya impian? Ya impian. Itu lho, sesuatu yang ingin dicapai suatu saat nanti. Tapi apa yang sudah kalian lakukan untuk mencapai impian itu?

Di sebuah buku karya Colin Powell. Ada sebuah kalimat sederhana yang yang mampu membuat seorang Victor terus maju untuk meraih impiannya. 'A dream doesn't become reality thought magic. It takes sweat, determination and hard work.' Sebuah kalimat yang sampai sekarang menjadi pemacu dirinya untuk terus berusaha meraih impiannya.

"Bagus, Victor!" seru seseorang yang kini tengah sibuk memainkan punch mitt yang ada di tangannya. Seseorang itu mengangkat tangan kirinya, membuat Victor langsung melayangkan pukulan kerasnya ke sana.

Sudah satu jam ini Victor bergulat dengan punch mitt yang ada di tangan Willy, Omnya. Melanyangkan pukulan keras ke arah benda itu di arahkan. Satu jam bergulat dengan punch mitt membuat nafas Victor mulai engap. Energinya pun sudah mulai terkuras. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi saat ini.

"Om, udah om," ucap Victor pelan. Ia menghentikan pukulannya. Tanpa menunggu pesetujuan Willy, ia langsung membaringkan tubuhnya ke atas ring. Nafasnya tak beraturan. Keringat yang sedari tadi menggantung di pelipisnya akhirnya jatuh. Latihan kali ini sungguh melelahkan.

"Oke, kita sampai sini aja," balas Willy. Laki-laki berusia tiga puluh tahunan itu melepaskan punch mitt dari tangannya. "Gue turun dulu, Vic." Victor mengangguk, membuat pria itu melangkah turun dari atas ring. Membiarkan keponakannya itu beristirahat sejenak di sana.

Setelah latihan tadi, Victor langsung pulang ke rumah. Namun dalam hatinya ia merasa cemas. Sekarang sudah pukul sebelas malam dan ia baru pulang. Biasanya ia tidak pulang selarut ini, tapi karena tadi di tempat latihan ia menonton siaran live kejuaraan tinju dunia, membuat dirinya jadi lupa waktu.

Perlahan Victor membuka pintu rumahnya. Berharap orang rumahnya itu sudah tidur. Bisa bahaya nanti kalau sampai ada yang memergokinya pulang semalam ini. Terlebih lagi kalau itu Papanya. Bisa habis lagi ia malam ini.

Suasana sepi. Lampu rumah juga mati. Sepertinya aman terkendali malam ini. Victor menghela nafas lega, akhirnya ia bebas juga.

Baru selangkah Victor memasuki rumahnya, seketika keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Lampu ruang tengah mendadak nyala. Victor tersentak, apa lagi saat ia melihat Papanya sedang duduk disalah satu kursi di sana.

"Dari mana aja kamu?" Suara dingin Wildan seketika menghentikan langkah Victor. Anak laki-laki menelan ludahnya, menunduk.

"Abis latihan, Pa," jawab Victor.

Wildan melangkah, mendekat ke arah anaknya. Sampai langkahnya terhenti, pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu tanpa beban menampar keras pipi kiri anak keduanya. Victor memejam, dahinya penuh kerutan. Wajahnya memerah, merasakan perih juga panas yang menjalar di pipinya.

"Sudah berapa kali Papa bilang, jangan main tinju! Kamu ngerti ga sih kalau dibelangin?! Kamu itu anak sekolah. Seharusnya kamu itu belajar, bukan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dasar anak ga tau diuntung!"

Satu tendangan keras menghantam kaki kanan Victor. Membuat anak laki-laki itu terjatuh. Ia merintih kesakitan karena luka goresan yang ia dapat dari ujung meja.

"Kamu tau ga, berapa biaya yang sudah Papa keluarkan untuk membesarkan kamu? Dan sekarang kamu hanya main-main saja? KAMU ITU GA TAU TERIMA KASIH!" bentak Wildan kencang. Suara tingginya terdengar di tengah heningnya rumah.

"Tapi Papa sendiri kan yang izinin Victor buat ikut lomba itu, asalkan-" belum sempat Victor menuntaskan kalimatnya. Tendangan keras Wildan lagi-lagi menghantam tubuhnya.

Complementary HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang