Permintaan Kepala Sekolah

1K 374 187
                                    

Erika membuka pintu rumahnya perlahan. Sekarang sudah hampir jam sembilan malam dan ia baru pulang sekolah. Pastilah sekarang Ayahnya sudah ada di rumah. Terlebih lagi sekarang bukan weekend, jadi pastilah restoran yang dikelola Ayahnya itu sudah tutup. 

"Erika, kamu baru pulang?" baru saja setengah badan Erika masuk ke dalam rumah. Ternyata Takuma, Ayahnya. Sudah menunggu dirinya di ruang depan. Erika mengangguk samar lantas masuk ke dalam rumahnya.

"Kok tumben pulangnya malam banget?" tanya pria tinggi bermata sipit dengan wajah khas Jepang. Ya, Takuma memang asli orang Jepang. Ia datang ke Indonesia dua puluh lima tahun lalu untuk melanjutkan pendidikannya di negara ini, namun saat menikah barulah ia menjadi warga negara Indonesia yang sah.

"Iya, Yah. Tadi aku abis ngerjain penelitian buat lomba KIR bulan depan. Karena ke asikan aku sama teman-teman jadi lupa waktu," jawabnya setengah jujur setengah bohong. Ah, sudahlah jawaban seperti ini memang sudah yang terbaik.

"Oh gitu. Terus tadi kamu di antar siapa? Kayanya itu bukan Dimas, ya?" tanya Takuma sekali lagi.

Erika memutar bola matanya. Pertanyaan macam apa ini? ia harus jawab apa? Teman? Tapi Victor bukan temannya, baru kemarin ia mengenal anak laki-laki itu. Itu pun secara tidak sengaja. Sahabat? Apalagi. Teman aja bukan apa lagi sahabat.

"Teman Ekskul, Yah." Akhirnya jawaban itu lah yang keluar dari mulutnya.

Membahas soal Victor membuat Erika teringat sesuatu. Seketika ia menepuk dahi. Bodoh sekali dirinya sampai lupa bilang ke Victor untuk segera memperbaiki handphonenya yang rusak gara-gara anak itu. Erika mendesah kesal dalam hati. Tujuannya bertemu Victor kan untuk meminta pertanggung jawaban atas ponselnya. Tapi sekarang, di saat ia sudah bertemu dengan cowok itu, dirinya malah lupa bilang.

"Yaudah, kamu mandi dulu gih. Nanti baru makan, kamu belum makan malam kan? Nanti Ayah tunggu di meja makan, ya," ucap Takuma yang berhasil membuyarkan lamunan Erika. Gadis itu mengangguk lalu pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.

❇❇❇

"Erika, kita minta maaf ya kemarin sore kita ninggalin kamu di sekolah," ucap Vanessa penuh sesal. Bersama dua anggota Ekskul KIR. "Karena lampu sekolah mendadak mati, kita semua jadi ketakutan. Sampai lupa kalau kamu pergi ke gudang. Maaf ya, tapi kamu gapapa kan?" tanya Vanessa dengan nada khawatir.

"Iya gapapa kok, Kak," jawab Erika sambil tersenyum masygul. Dalam hati sebenarnya ia merasa sangat kesal. Bisa-bisanya semua teman Ekskul KIR meninggalkannya sendirian. Namun karena dirinya merasa tidak enak untuk menyalahkan Vanessa dan teman-teman Ekskulnya, alhasil ia pun hanya bisa jawab 'Gapapa'.

"Serius? Jangan marah ya?" tanya Vanessa sekali lagi. Erika hanya membalas senyuman tipis sambil mengangguk. Melihat wajah Erika yang terlihat baik-baik saja membuat Vanessa merasa tenang. "Yaudah kalu gitu aku balik ke kantin lagi ya," Vanessa melambaikan tangannya. "Dah Erika."

Erika tersenyum tipis saat Vanessa melambaikan tangannya kearahnya. Bukan bermaksud sombong. Ia hanya tidak ingin membalas lambaian tangan gadis itu. Ia berbalik, namun langkahnya harus terhenti saat Aqila dan Sheila sudah ada di belakangnya.

"Astaga Erika!" Aqila berseru kencang. "Lo cuma bilang gapapa, di saat lo di tinggal di sekolah sendirian? Astaga ... lo ini kebiasaan tahu ga sih!" nada bicara Aqila naik beberapa oktaf membuat siswa yang kebetulan lewat ikut tertarik dengan omelan Aqila yang belangsung tepat di depan pintu kelas XI IPA 1.

"Lo itu ga bisa diem terus Erika. Lo juga harus ungkapin apa yang lo rasain," ucap Aqila gemas. Melihat sahabatnya ini terus saja diam menahan dirinya. "Kalau gue jadi lo ya, gue udah marah-marah tuh sama si Vanessa. Dia ketua Ekskul tapi bisa-bisaya dia ninggalin anggotanya sendiran saat lagi ngejalanin perintah dari dia. Di gudang lagi. Lo ditinggal sendirian di dalam gudang. Oh ya, tadi dia bilang apa? Mati lampu? Lo ditinggal sendirian di gudang saat lampu mati?"

Complementary HeartWhere stories live. Discover now