14

332 80 31
                                    


(Kalo lupa alurnya sampai mana, disarankan baca part 13 yaa ehhe. Clue ; poppo XD)

***
CHAPTER 14


Guyuran air di luar meninggalkan titik-titik embun pada kaca jendela ruang kelas. Dingin yang menyeruak lewat sela-sela ventilasi membersamai suasana belajar yang khidmat di dalamnya. Sepasang mata di sudut sana terpaku pada satu objek di depan. Diamatinya secara intens satu punggung yang keseluruhannya tertutupi oleh uraian rambut panjang kecoklatan. Alih-alih berkedip, tatapan tajam dari bola mata legam itu justru terus mengarah pada satu titik.

Mengingat kejadian semalam yang tak dapat dilenyapkan dari ingatan; Sebuah pertemuan bibir untuk pertama kali yang meluluhkan hati, lembut dan berharga, manis lebih dari gula. "Itu bukan suatu ketidaksengajaan. Aku takkan meminta maaf," yang ia katakan setelahnya.

"Kau menghindariku?" gumamnya yang seolah terpancar lewat tatapan yang tak terlepas itu. Sesaat kemudian bibir tipisnya tertarik ke samping, membentuk seulas senyuman satu sudut yang benar-benar samar.

Jeon Jungkook mengingat momen kecil yang terjadi pagi tadi ketika ia dan gadis itu berpapasan di koridor depan. Penglihatannya buruk sekali, hampir buta, tapi ia menangkap jelas paras cantik Yein beserta karisma lemah lembut di sekitarnya. Mereka berhadapan, sama-sama menghentikan langkah kaki. Tak ada ucapan yang terlontar, sama sekali. Mata rajawali milik Jungkook hanya tertuju pada wajah gadis itu semata. Ya, persis seperti tatapannya sekarang yang sedang membidik target dari belakang—sebenarnya selalu seperti ini—tajam berkilat bak mata pisau. Namun lewat itu, ia mampu menyampaikan segalanya. Kau tahu apa yang ia sampaikan tadi pagi? Ialah, "hai." Tak peduli apakah gadis itu menangkap maksudnya atau tidak, itulah cara Jungkook berbicara dari hati, lewat bidikan matanya.

Sayang sekali, 'hai' kasat mata itu tak berbalas. Yein bahkan enggan balik menatap, melempar jauh-jauh arah pandang ke sisi lain seraya pergi menjauh. Laki-laki yang berdiri masih diam, bagai daun kering di jalanan yang diabaikan. Gadis itu marah? Ah bukan, Yein menjadi tidak nyaman? Entahlah.

Hujan di luar setia berlangsung, sepertinya mereka perlu menghidupkan penghangat. Dari lamunan singkat tentang momen kecil tadi, Jeon Jungkook tersadar. Punggung tegak yang ditatapnya dari belakang masih menjadi perhatian. Hanya seperti ini saja... kenapa begitu menenteramkan? Apa bisa suatu saat nanti jemarinya yang maskulin berada di sana—mengusap itu ketika Sang Pemilik lelah, menepuknya ketika gadis itu menangis, dan membelai surai panjang yang menutupi ketika dirinya tumbang?

"Jung Yein, apakah ini yang kau rasakan saat menatap punggung yang selalu menjauh meninggalkanmu padahal kau berdiri tegak di belakangnya? Itu sudah terjadi sangat lama, bukan? Pasti berat untukmu. Maafkan aku."

Jungkook kembali tenggelam dalam lamunan, berbicara dengan batinnya sendiri seakan-akan ia sedang benar-benar mengatakannya pada gadis yang dimaksud. Kini ia tahu betapa sukarnya menahan jemari yang berharap mampu meraih punggung yang terhalang jarak itu.

Lenyap lagi lamunan itu, terbuyarkan oleh getaran ponsel di saku kemeja. Sebuah pesan baru saja masuk.

'Tentu saja, Jeon. Mungkin kau bisa datang setelah makan siang. Buatlah janji dahulu sebelum bertemu.'

Buru-buru ia mengetikkan sesuatu di message bar kosong, tetapi bukan sebagai balasan atas pesan yang baru saja ia terima. Jungkook menuliskan pesan lain kepada salah satu kontak tersimpan.

'Saya akan datang satu jam lagi. Jeon Jungkook.'

***

Sentuhan singkat di bibir malam itu... "Ya Tuhan, aku gila," gumam Yein—yang tak seorang pun akan dengar.

Let Me KnowWhere stories live. Discover now