13

500 82 68
                                    

CHAPTER 13


Dari balik jendela kaca ruangannya di lantai 10, Jung Eunha menjadi saksi detik-detik tenggelamnya surya ke peraduan, meninggalkan semburat cantik merah-keemasan di langit barat. Sisa sinarnya menyorot dengan begitu indah, terpantul apik di pupil mata legam miliknya.

Lampu jalan mulai gemerlapan mengiringi hadirnya petang, begitu pun satu per satu jendela pada gedung-gedung pencakar. Meriah sekali untuk dipandang, sayangnya panorama memesona metropolitan itu tak sebanding dengan apa yang Eunha rasakan. Tubuhnya meringkuk di atas sofa di sudut ruangan, berteman dengan sepi dan gulita. Seperti biasa, seorang diri. Yang ia lakukan hanyalah berdiam memandang keluar, memandang kemarakan senja yang mengambil alih hari.

Jung Eunha melirik selang infus yang melekat di punggung tangannya. Sudah berjam-jam memang sejak ia datang ke bangsal ini, tapi yang ia lakukan tetap sama—membiarkan waktu hangus perlahan. Tersimpan di benaknya kutukan serta sumpah serapah untuk orang-orang yang meninggalkan dirinya, padahal justru seingatnya tak pernah ada yang sempat di sisinya, kecuali Eommeoni, pikir Eunha.

Biasanya ia tak masalah dengan hal itu, biasanya ia baik-baik saja, bahkan ketika Sang Ayah berteriak, menekannya, atau ketika gadis-gadis di sekolah mau berteman hanya atas dasar eksistensi, mungkin juga ketika seseorang yang ia suka terus-menerus mengabaikan, sungguh ia sebenarnya tak apa. Namun untuk saat ini, saat di mana ia jatuh ke lembah paling curam, tenggelam di palung terdalam, "Aku tidak berdaya lagi."

Seharusnya ia tadi tak tersadar ketika dokter berbicara dengan Nyonya Jung—Ibu tiri Eunha—seusainya mereka tiba di rumah sakit. Semestinya ia tak terbangun kala dokter mengatakan apa yang terjadi padanya, sesaat setelah ia mendapat perawatan darurat. Akan lebih baik jika ia tetap tertidur sedikit lebih lama, atau mungkin justru selamanya, kalau tak ingin pilu ini mengoyak jiwa dan semakin menghancurkan pertahanan. "Ini belum terlalu terlambat, namun Langerhaens Cell Histiositosis yang ia alami mulai memasuki stadium kedua," begitulah kiranya perkataan yang bagai pisau belati bagi hidup seorang Jung Eunha.

LCH. Entah karena kecerdasan Sains-nya atau hebatnya pengetahuan umum yang ia miliki, gadis itu memahami istilah tersebut. Singkatnya, itu adalah kanker yang menyerang imun.

Apakah seperti ini saja? "Apakah takdir harus sepahit ini? Bahkan mati sepertinya lebih manis," ia bergumam. Air mata murni berkumpul di kedua pelupuk, bersiap untuk meluncur turun. Ia menunduk dalam, menenggelamkan seluruh wajahnya. Bagi Eunha, dunia tak perlu melihat tangisnya.

***

Kedatangan Yein di kelas menarik perhatian beberapa pasang mata. Ia tahu, jelas tahu alasannya. Berita itu sudah menyebar luas tadi malam, tidak mengagetkan kalau hari ini ada kehebohan.

Tungkainya terseret gontai, wajahnya menunduk. Meski berusaha kuat untuk terlihat santai, nampaknya itu tidak berhasil. Yang di pikirannya, meski harus menyembunyikan muka dengan karung sekali pun, tetap saja dirinya yang menjadi pusat. Ya, tapi ia rasa pantas atas itu.

"Aku tidak menyangka akan sampai seperti ini."

"Kasihan sekali Jung Eunha."

Yein mendengar itu, namun ia hanya diam. Ya memang itu yang bisa dilakukannnya, memangnya ia harus bagaimana?

"Apa alerginya parah?" suara Lee Suyeon terdengar setelahnya.

"Sepertinya begitu," sahut yang lain. "Andai saja kemarin Eunha tidak-"

Yein berjalan acuh, mencoba tidak peduli, menghindari kehebohan yang terjadi. "Yein-a!" tetapi kemudian langkahnya berhenti. Ada yang memanggilnya.

Let Me KnowWhere stories live. Discover now