#18# Gara-gara 1514

282 37 9
                                    

Entah mimpi apa aku semalam? Berakhir di kamar 1514 yang penuh drama.

...

Allah memang sayang padaku. Beberapa langkah sebelum berbelok ke arah lift, aku bertemu dengan seorang pria berusia sekitar 50-an keluar dari sebuah kamar sambil membawa beberapa ransel persis seperti punyaku.

Sepertinya beliau guru pendamping dari provinsi lain. -Batinku mulai tenang. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya.

Beliau tersenyum karena melihatku masih berada di luar selarut ini. Ia sempat bertanya, kamarnya dimana?

"Di sana, nomor 1514, Pak. Tapi pintunya gak mau kebuka. Mungkin kartunya rusak, Bapak bisa bantu saya?" Tanyaku to the point.

"Oh, mari." Bapak itu sangat ramah dan baik. Beliau meletakkan ransel yang ia bawa di depan pintu kamarnya lantas menolongku. Ingin rasanya aku sujud syukur detik itu juga. Setidaknya aku sekarang tidak sendirian.

"Di sini?" Tanyanya memastikan. Aku mengangguk.

Terhitung sudah tiga kali beliau mencoba membuka pintu kamarku. Dalam hati aku berdoa semoga saja pintu itu lekas terbuka.

"Teman sekamar kamu sudah datang?"

"Mungkin sudah, Pak. Dari dalam kayaknya ada orang. Terdengar suara televisi juga," ujarku seraya menunjuk daun pintu.

"Nama teman kamu siapa?"

"Atia... Karla Atia, Pak."

Bapak itu mengangguk sekilas, "Assalamualaikum, Atia... Buka pintunya Nak!"

"Atia... Tolong buka pintunya, teman kamu mau masuk!"

"Atia..."

"Ananda buka pintunya..."

Berulang kali kami mencoba memanggil, tetap saja tidak ada jawaban.

"Ada apa, Pak?" Dua orang wanita yang berdiri di ujung lorong sebelah kanan bertanya dengan wajah heran, membuat kami berdua menoleh. Aku berpikir mungkin mereka terganggu dengan suara kami yang cukup keras.

"Anak ini gak bisa masuk ke kamarnya. Mungkin temennya lagi tidur pulas jadi gak kedengaran." Ujar Bapak kepada salah seorang dari wanita itu. Ternyata mereka sudah saling kenal dan berasal dari provinsi yang sama. Dengar saja logat bicara mereka.

"Darimana, Dek?" Tanya wanita berkerudung cokelat kepadaku.

"Dari Sumbar, Buk."

"Oh," tanggap wanita yang satunya. "Biar Ibu telepon petugas hotelnya dulu. Kamar nomor berapa itu?"

"1514, Buk."

Beliau tersenyum singkat lalu berlari ke kamarnya, hendak mencari bantuan. Sedangkan wanita berkerudung cokelat itu mendekat. Beliau mengusap pipiku. "Kasihan dia kelelahan," lirihnya dengan sorot iba.

Tak lama kemudian seorang petugas hotel dengan pakaian serba putih datang. Ia membawa sebatang besi, entah apa namanya. Kami sempat terkejut melihat alat dari besi itu hendak membobol kamarku.

"Serius itu, Pak?" Tanya wanita berkerudung di sampingku. Pupilnya melebar.

"Tunggu," suara lantang dan berwibawa menyita perhatian kami yang semula tertuju pada si petugas hotel. "Saya bawa kunci king." Ujar pria berjas hitam itu. Ia adalah kepala hotel. Dengan gagah, beliau membuka kamarku dengan kunci king-nya.

Tetap saja gagal.

"Dikunci dari dalam pakai cantelan rantai besi," beliau kembali mencoba mendobrak. "Permisi..."

Sweet Science ✅[END]Where stories live. Discover now