#15# Transit

263 33 8
                                    

Devan, Imam, dan aku duduk di satu banjar yang sama. Awalnya aku ingin tukeran duduk dengan Devan--di dekat jendela pesawat--namun cowok berkulit putih itu malah menolak mentah-mentah. Ya sudahlah! Yang penting sama-sama naik Garuda Airplane.

Selama di pesawat, aku lebih banyak bercerita dengan Imam karena posisi duduk Imam berada di tengah. Devan sibuk mendengarkan musik sambil melihat pemandangan dari ketinggian ribuan kaki. Gumpalan awan putih menambah cantik pemandangan di bawah sana.

"Jadi tiap malem Devan mencet bel kamar kamu?"

"Iya," decakku sebal.

"Kurang kerjaan banget sih kamu, Van!" Omel Imam lalu mencubit pinggang Devan. Aku selalu senang mengadukan ini-itu kepada Imam karena ia selalu berada di pihakku. Serasa punya dua orang Bapak. #wkwk.

"Lagian seru sih gangguin anak cewek!" Seru Devan seperti tak berdosa.

"Dasar!" Aku mencibirnya.

"Eh, Van. Kamu gak ke gereja tadi pagi?" Tanya Imam.

"Oh iya, aku lupa Mam." Keluh Devan. Ia menepuk jidatnya.

"Masa bisa lupa sih? Kalau nanti pesawat ini jatuh terus kamu meninggal gimana, Van? Kamu belum sempat ke gereja lo Minggu ini?!" Imam menasihati.

Sekadar info. Devan beragama Khatolik. Meskipun demikian, kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut. Malahan, kami saling mengingatkan untuk beribadah.

"Ya, maaf Mam."

"Jangan maaf ke aku, maaf ke..." Imam menunjuk ke atas.

"Iya deh, Mam. Gak lagi-lagi."

📷📷📷

Pesawat kami transit di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng.

"Dingin ya, Ree di dalem pesawat tadi." Hanna mengusap kedua telapak tangannya.

"Gak juga," aku menggeleng.

Waktu keberangkatan pesawat kedua masih sekitar dua puluh menit lagi. Untuk menghilangkan jenuh, aku bersama Hanna memutuskan untuk berkeliling bandara. Ya, kami tahu kurang kerjaan banget. Tapi, niat kami tidak mendapat izin dari guru pendamping.

"Trus kita ngapain selama dua puluh menit ini, Ree?" Tanya Hanna.

"Main games aja," ujar Ella yang ternyata sedang asik bermain game di tab-nya.

"Selfie, kuy!" Seru Syifa.

"Setuju!"

Cekrek!

Beberapa pose lucu membuat kami sedikit terhibur. Lihat saja Hanna! Gadis itu memanyunkan bibirnya, pose ala bebek. Lucu sekali.

"Eh, Ree!"

"Kenapa Hanna?"

"Itu peserta dari Medan, ya?" Hanna menunjuk kumpulan orang yang barusaja duduk di depan kami. Benar, mereka dari Medan. Lihat saja ikat kepala yang mereka pakai!

"Yang itu darimana?" Syifa menunjuk ke arah lain. Orang-orang dengan paras khas orang timur tersenyum kepada kami. Kulit berwarna gelap Dan rambut ikal.

"Papua?" Hanna menggaruk tengkuknya.

"Bukan, kayak orang NTT gak?" Ujarku.

"Kalo NTB gimana?" Ella menimpali.

"Mana aku tahu. Bukannya ciri-ciri orang NTT sama NTB sama aja?"

"Tau darimana kamu, Ree?"

Ya Allah, Ella! Terserah kamu aja deh!

Daffa dan Devan yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat kududuk, tiba-tiba menghampiri kami.

"Van, itu mirip Rara!" Seru Daffa setengah berbisik.

"Rara? Rara siapa?" Tanyaku heran. Seingatku tidak ada yang namanya Rara disini.

Devan tersenyum, "Rara pacarnya Daffa itu loh."

Daffa masih menatap gadis berambut panjang yang sedang duduk tidak jauh dari kami. Gadis berkulit sawo matang itu tampak manis dengan lesung pipinya. Oh, pacar Daffa mirip dia?! Manis juga.

"Liat deh, senyumnya sama persis kayak Rara." Daffa belum bisa mengalihkan pandangannya. "Tapi Rara lebih tinggi dan putih dari dia."

"Ekh!"

"Rara!" Panggil Devan pada gadis yang dibilang mirip dengan Rara tadi. Cowok yang satu ini memang terkenal usil.

"Woy Van! Diamlah!" Daffa tersipu malu saat gadis yang belum diketahui namanya itu menoleh. Daffa, cowok bertubuh jangkung itu meninju pelan bahu Devan.

📷📷📷

"Yah, kok sama kalian lagi?!" Keluhku melihat Devan dan Imam duduk di samping kursiku.

"Mana kami tau? Siapa juga yang mau duduk dekat kamu?!"

"Apaan sih Devan!" Omelku.

Imam mendecih, "Kalian apaan sih kayak anak kecil aja! Udahlah, tinggal duduk aja apa susahnya sih!?"

"Aku sebel sama dia, Mam! Suruh Devan minggat."

"Kok aku? Kamu aja sana!"

Aku tidak suka dengan sikap Devan yang selalu memasang wajah tidak suka setiap kali aku dan Imam ngobrol sepanjang penerbangan.

Kenapa Devan?

Seorang pramugari menyuruhku untuk duduk karena pesawat akan take off. Ya sudahlah!

"Fero!" Aku heran, kenapa Fero tidak menyahut.

Aku menepuk sandaran kepala bangku di depanku. "Fero! Tukeran duduk yuk!"

Masih saja tidak ada jawaban.

"Mck!" Aku sebal. Dasar manusia triplek! Kenapa cowok itu tidak mau menolongku dalam situasi seperti ini?

Aku melipat kedua tangan seraya menoleh ke arah kanan dengan kesal. Tiba-tiba, "Fero?" Betapa terkejutnya aku saat melihat Fero duduk di sampingku. Lalu, yang duduk di depanku siapa?

Fero menatapku heran.

Dasar bodoh! Aku merutuki diriku sendiri.

Sweet Science ✅[END]Where stories live. Discover now