#5# Hei, yang jilbab merah!

546 50 23
                                    

Selepas shalat Isya, aku bersiap untuk kembali latihan. Sudah jam delapan lewat lima belas menit, tapi dua anak itu belum juga datang.

"Mana anak berdua tu?"

"Otw palingan," sahutku sambil memasang jilbab.

Ting tong ting tong

Kulirik Ella yang sedari tadi santai bermain tablet di atas ranjang. Melalui bahasa nonverbal kuisyaratkan agar Ella membukakan pintu--lewat gerakan alis.

Untung saja, gadis berkacamata itu peka dan langsung menuju pintu dengan tangan yang masih asik menari di atas tab.

"Sudah selesai tuan putri?" Saat Hanna tanpa mengucapkan salam.

"Waalaikum salam." Sindirku.

"Eh, assalamualaikum." Hanna cengengesan. "Kamu bawa buku apa, Re?"

"Buku yang tadi sama catatan,"

Syifa hanya diam seperti biasa, tidak banyak omong. Ia tipikal cewek yang berbicara bila perlu saja. Barangkali karena belum terlalu kenal betul, pikirku.

"Berangkat kita lagi?" Ajakku. Kusandang ransel hitam-ungu yang bertengger di sofa single dekat jendela.

"Yok lah!" Sahut Hanna.

"Syifa diam aja dari tadi," Ella tersenyum simpul memerhatikan Syifa yang sangat kontras dengan kami bertiga. Aku tipikal orang yang tidak kenal kata diam jika sudah berada di zona akrab, begitupun Ella. Jika aku dan Ella sedang membahas topik seru, maka suara kami bak toa masjid. Heboh! Beralih ke Hanna, aku belum terlalu kenal bagaimana Hanna sepenuhnya. Tapi menurut kacamataku, ia tipikal cewek friendly, humoris, dan sedikit gaje.

Kami masuk ke ruangan. Tampaknya hanya anak IPS yang rajin malam ini. Anak matematika dan IPA-kecuali Ella, entah dimana sekarang.

"Mana nih yang lain?" Tanyaku karena tidak melihat seorangpun cowok di ruangan ini.

"Maaf, kami telat!" Ujar Imam yang datang bersama Devan, Akbar, dan Daffa. Mereka berempat duduk di hadapan kami.

"Kita mulai?" Tanyaku.

"Oke," Imam membuka buku catatannya. "Kita bahas objek wisata di Palembang dulu, gimana?"

"Kedengarannya asik!" Decakku setuju.

"Kita cari di laptop Van aja, mumpung WiFi gratis." Devan membuka laptopnya. Tidak mau kalah, akupun mencari materi pembahasan di ponsel.

"Objek wisata di Palembang, pertama ada Jembatan Ampera, dibangun tahun 1962." Ujarku mendiktekan.

"Hanna belum pernah ke Palembang, padahal empat tahun tinggal di Jambi." Tutur Hanna sembari mencatat.

"Hubungannya?" Tanyaku.

"Kan dari Jambi ke Palembang dekat, Ka!" Hanna mengendus sebal.

"Kamu kelas berapa, Hanna?" Tanya Devan tiba-tiba.

"Kelas lapan,"

"Kok manggil dia, Kak?" Devan merujuk kata dia kepadaku.

"Hanna manggil aku pake nanya belakang. Ca dibaca Ka. Bukan Kak," jelasku panjang lebar.

"Oh, gitu." Devan mengangguk tanda paham.

"Kalian beda sekolah, kan?" Tanya Imam sambil memainkan pulpen hitamnya.

"Iya, aku di SMP 1. Kalau Hanna di MTsN 2." Kemudian kulirik Ella yang duduk di sebelahku. "Ini Ella, anak IPA. Kami satu sekolah."

"Hai Ella," sapa Daffa yang sibuk memainkan ponsel.

Sweet Science ✅[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang