ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ ʙᴇʟᴀs

1.4K 238 24
                                    

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Paginya kepalaku terasa berat. Alih-alih bergegas cepat agar tidak terlambat di senin pagi, aku justru kembali ke tempat tidur setelah dari toilet untuk ketiga kalinya dalam satu jam. Suhu kamar terasa lebih dingin, akan tetapi keringat terus keluar dari pori-pori pelipis.

Aku menelpon Sherly, menitip izin untuk dosen karena aku tidak akan ke kampus hari ini. Dia sempat bertanya apa yang terjadi, tetapi aku hanya mengatakan bahwa aku sedang tidak enak badan.

Semalam, akhirnya aku sampai rumah dengan ojek online setelah menunggu hujan reda sendirian di belakang foodtruck. Aku sempat melihat, Andres mengantar Imel pulang dengan mobilnya. Ketika mengingat perlakuan Andres pada Imel rasanya dadaku semakin sesak, aku memukul dada guna melancarkan napasku kembali, mataku berkaca-kaca menahan rasa sakitnya.

Entah apa yang Andres lakukan hingga aku bisa sekacau ini karenanya.

Seandainya saja situasinya memungkinkan, mungkin aku akan sedikit berusaha untuk mendapatkan hatinya. Mendekati atau mungkin aku dapat menarik simpatinya dengan sesuatu. Namun, semakin aku mengenalnya. Aku semakin sadar jika aku dan Andres adalah suatu hal ketidakmungkinan. Andres pria dewasa, punya jenjang karir yang baik, pun ditambah dengan usaha yang menjanjikan.

Dengan itu semua aku yakin perempuan dengan tingkat yang lebih tinggi memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan hatinya.

Mungkin, aku yang harusnya berkaca diri. Jika dibandingkan dengan perempuan di sekeliling Andres, jelas sekali aku tidak ada apa-apanya. Lalu kenapa aku berharap akan dapat memenangkan hatinya? Itu sama saja seperti aku berharap menang dalam olimpiade matematika, padahal aku sebodoh-bodoh dalam hal menghitung. Mustahil.

Namun, ketika mengingat segaris matanya yang menyipit ketika tersenyum di teras rumah dua tahun lalu, foto anak dengan permen yang sudah usang, rasa bangganya ketika berhasil memasak untukku, peringatannya ketika menyuruhku makan. Andres, apa hanya aku yang menganggap semua itu berarti? Tetapi, bukankah aku sudah berjanji agar tidak lagi membebani Andres dengan perasaanku? Harusnya aku berusaha menutup pintu hati ini untuk Andres dan jangan lagi membukanya sedikit pun.

Sulit, ini sulit sekali! Seolah hati ini menolak untuk melupakan Andres. Ia ingin bertahan, setidaknya mungkin sampai melihat Andres benar-benar bahagia.

Lamunanku buyar ketika mendengar suara ketukan pintu. Buru-buru aku menghapus jejak-jejak air mata yang sejak tadi membasahi wajah. Sebelum aku berdiri, aku melihat panggilan telepon dari Andres di ponselku dan kini aku yakin siapa yang mengetuk pintu.

Aku berdeham, menetralkan suaraku sebelum mengangkat panggilan telepon, alih-alih membuka pintu depan. Aku tidak tahu kenapa, tetapi kini aku mematikan lampu kamar dan menguncinya dari dalam.

"Ha-halo, Kak."

"Kamu di mana?"

"Di-di kampus."

"Bohong! Andra bilang kamu nggak ke kampus pagi ini karena sakit. Bener?"

"Ng-nggak, kok!" Tanpa sadar aku mengeraskan suara, tetapi buru-buru aku menutup mulut. "A-aku, aku ...."

"Sekarang kamu di mana, Maura? Jangan main-main, Kakak diminta Nara buat jaga kamu!"

Aku memejamkan mata erat-erat. Jangan sampai Andres tahu keadaanku sekarang.

Secretalove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang