ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛᴜᴊᴜʜ

1.5K 226 29
                                    

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Mungkin sekitar dua menit, Kak Nara hanya diam di ambang pintu dengan tatapan yang jelas sulit sekali untuk kuartikan. Kak Ervin yang ada di sebelahnya hanya menggaruk tengkuk dan menatapku juga Kak Nara secara bergantian.

Jika boleh jujur, saat ini aku tidak punya sepatah kata pun yang dapat aku sampaikan pada Kak Nara. Aku hanya diam, menatap Kak Nara yang maju selangkah demi selangkah.

Aku terdiam, menelan ludah susah payah ketika Kakak berada di dekatku dan Andres. Tatapan matanya semakin menghunus, aku tahu ia sedang diliputi oleh amarah.

"Kenapa kamu ada di sini? Kenapa nggak kuliah?" Tidak ada sama sekali nada ceria seperti yang biasa Kak Nara perdengarkan.

"A-aku ... aku ...."

"Jawab!"

"Nar, udah, Nar. Ini salah gue." Andres mencoba membela.

"Diem! Gue nggak ada urusan sama lo soal Maura."

"Ada urusannya. Gue sama Maura ...."

Kalimat Andres terhenti. Sebelum aku memproses apa yang terjadi, sebelum mengeluarkan suara untuk sekadar membela Andres, Kak Nara, kakak yang selama ini aku banggakan sudah melayangkan pukulannya pada wajah Andres.

"Kak!"

"Nar!"

Suaraku dan Kak Ervin berbarengan. Kak Ervin dengan cepat mendekat, menghalangi Kak Nara berbuat lebih jauh, sedangkan aku membantu Andres yang tersungkur di lantai.

"Kakak nggak apa?" tanyaku yang dibalas gelengan kepala oleh Andres. Ia tersenyum, dan mengatakan baik-baik saja. Namun, bulir keringat merembes lebih banyak di pelipisnya.

Andres berusaha bangun, seperti meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja dengan mengangguk pelan ke arahku.

"Lima belas tahun." Suara Kak Nara kembali kudengar. "Lima belas tahun kita sama-sama. Apa nggak cukup waktu lima belas tahun buat lo percaya gue, Bay?!"

"Nar, nggak gini caranya, Nar." Kak Ervin berusaha meyakinkan.

"Trus lo maunya gue gimana, Vin? Lo mau gue diem aja ngeliat adek gue berhubungan sama laki-laki pengecut macam dia? Nggak!"

"Tapi nggak pake kekerasan juga cara nyelesainnya, Nar. Gue kasih informasi ke lo bukan untuk bikin lo meledak-ledak begini."

Aku tidak begitu memperhatikan Kak Nara. Jujur saja, melihat kondisi Andres semakin membuat aku ketakutan. Wajahnya semakin lama semakin pucat, pun getaran tangan semakin terasa. Apa yang terjadi dengannya?

Andres bangkit, kemudian berlari ke arah dapur yang sama sekali tidak dihalangi oleh sekat dinding dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

"Maura, tolong ambilin minum buat Ubay dulu. Kayaknya dia butuh minum setelah dari toilet." Begitu titah Kak Ervin yang kubalas dengan anggukan.

Tanpa menghiraukan Kak Nara yang sekarang sudah duduk di sofa hitam yang sempat aku duduki tadi dengan tangan yang menutupi wajahnya.

Aku bergerak mengambil gelas di meja dapur kemudian menuangkan air putih dari dispenser di samping kulkas. Sedikit kacau ketika aku berada di dapur yang hamoir semuanya berwarna sama ini. Namun, aku harus tetap bergegas.

Tepat seperti dugaanku. Ketika aku membuka pintu toilet, Andres tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya di wastafel. Rasa pedih menjalar ke dada ketika mendapati Andres tidak berdaya.

Aku meletakkan gelas di samping wastafel dan membantunya dengan memijat pelan tengkuk yang sekarang terasa begitu dingin.

"Kak, udah dong, jangan kayak gini terus," pintaku padanya. Tanpa sadar aku menangis di belakang punggung Andres, memeluk dan menyandarkan wajahku pada punggung yang terbalut kaos hitam polos itu.

Secretalove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang