Michael melepas rangkulan Charlonna palsu dengan kasar. Ia mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku nya, lalu ia melemparnya asal. “Charlonna asli sudah tidak ada! Padahal aku mencintai nya dari dulu.”beber Michael dengan mata berkaca-kaca.

Mata ku melebar. Dia.. Mencintai ku?

“Charlonna yang asli akan dingin dan cuek. Tidak seperti kau yang manja dan feminim!”seru Michael sambil menunjuk Charlonna palsu. Lalu tangannya beralih ke diri ku yang masih saja membeku di tempat. “Dan kau dengan wajah memelas mu itu!”

“Michael!”pekik Edward ketika Michael berlari menjauh.

Badan ku membeku. “Tidak,”batin ku sambil menahan tangis. “Tidak Michael. Aku memang Charlonna yang asli. Apa yang terjadi dengan ku,”

Develine melirik ku dengan rasa simpati. Ia mengusap pundak ku. Dengan cepat, aku menepis tangannya. Develine tersentak, lalu memegang tangan kiri nya yang ku tepis tadi. Aku memandang Develine dengan kelopak mata yang sudah basah. “Aku butuh waktu sendiri.”

--

Aku mendekatkan wajah ku ke permukaan air. Jari telunjuk ku, ku celupkan ke air, menghancurkan ketenangan air dengan gelombang nya. Aku terduduk, lalu menggoyang-goyangkan kaki ku yang sesekali terkena sedikit air laut.

Di pantai ini, banyak sekali orang. Tetapi mereka berhenti bergerak, karena waktu belum di jalankan. Aku mengedarkan pandangan ku. Terlihat seorang perempuan sedang duduk di pasir pantai, ia memakai baju terusan berwarna biru muda, dengan kardigan warna hitam. Dia memakai hoodie nya. Rambut berwarna cokelat nya terlihat.

Dengan rasa penasaran, aku berjalan mendekati nya. Duduk di samping nya, lalu tak sengaja melihat sebuah buku ada di pangkuannya. Ia terlihat sedang menulis buku itu sambil mengamati pantai. Wajah nya menunjukan sebuah kesedihan. Tangannya pun menggenggam pensil hitam dengan erat sekali.

Aku melirik sekilas buku nya. Buku berwarna hitam, dengan tulisan ‘DIARY’ di atas nya. Di bawah kata itu, terdapat tulisan ‘of Sylvia’ dengan huruf sambung yang kecil.

Aku tersenyum, sebuah diari. Jika aku mempunyai nya, kapan aku bisa menulis nya?

Yang aku punya hanyalah scrap book itu. Develine, Edward, dan Melodies sedang pergi entah kemana. Sebenarnya, aku yang meninggalkan mereka.

Sebuah ide terlintas di kepala ku. Aku segera pergi meninggalkan perempuan ber-hoddie itu. Aku mengambil sebuah surat dari kantung ku. Dengan langkah tak terhenti, aku terus berjalan menuju rumah lama ku.

Aku melihat Fani sedang tersenyum ke arah Mom.

Tunggu, Mom pulang?

Ini kejutan sekali. Memang seharusnya aku tidak berharap hal-hal seperti itu.

Setelah memeluk Mom dari belakang, aku berjalan ke arah kamar ku. Aku mengambil sebuah scrap book yang entah kenapa sudah ada di rak buku ku. Aku tersenyum penuh kepuasan, lalu aku segera berlari keluar rumah untuk mencari Melodies, Edward, dan Develine. Nafas ku masih terengah-engah karena jalan tanpa henti tadi. Tapi aku tak peduli. Aku harus membuat Michael percaya dengan ku.

Jika dia tidak percaya dengan ku, maka aku bisa menghilang.

Merepotkan lagi.

Aku menarik nafas, lalu menghempaskan badan ku di sebelah Melodies yang sedang duduk. “Oh astaga, kau darimana saja?”tanya Melodies dengan kerutan di dahi nya.

Aku melirik nya sekilas, lalu menghela nafas. “Mencari ide agar Michael mempercayai ku, lihat saja, tangan ku sudah mulai mau menghilang.”

Melodies menaikan kedua alis nya. “Apa maksud mu? Tangan mu masih utuh.”

“Kau tidak mengerti, Melodies. Lihat baik-baik, serpihan-serpihan itu memisahkan diri dari tangan ku lagi. Itu arti nya, tangan ku akan menghilang secara perlahan sebentar lagi,”jelas ku. “Lagipula, Charlonna dunia London kemana?”

“Dunia London?”tanya Melodies sambil menahan geli.

Aku mendelik, lalu menatap Melodies dengan serius. “Oh okay-okay,”jawab Melodies seraya tersenyum simpul. “Ia bersama Develine dan Edward, sedang di interogasi.”

Aku mengernyit. “Introgasi? Buat apa?”

“Entahlah. Mereka hanya menginginkan penjelasan lebih dalam dari Charlonna dari dunia London itu,”tawa Melodies. Ia beranjak, lalu menarik tangan ku. Kami berdua masuk di sebuah kafe yang sunyi. Sebenarnya ada banyak orang, tetapi mereka hanya mematung disana. Memang agak menyeramkan jika di lihat baik-baik.

“Apa maksud mu? Aku tidak mengerti, Develine. Aku ini teman mu!”

Aku mengerutkan dahi, melepas tangan Melodies, dan berjalan menuju meja paling pojok, dimana Edward dan Develine berada. Aku mendekati meja itu dengan perlahan. Charlonna palsu terpekik melihat ku, wajah nya putih pucat. Ia langsung terdiam ketika aku menarik kursi dan duduk di depannya.

“Dia sama sekali tidak mau menjelaskannya, Charlonna!”seru Develine jengkel.

“Mungkin dia lupa?”celetuk Edward, membuat aku dan Charlonna saling melirik sekilas.

“Dia memang lupa,”ucap ku seraya melirik Develine. “Kau bodoh sekali! Dia tidak akan mengingat begitu saja!”

Develine terdiam, ia menatap ku dengan tatapan kaget. Lalu memeluk ku. “Uhh! Kau memang Charlonna!”

“Aku terkejut Michael tidak mempercayaimu,”celetuk Edward lagi. Dia menghirup segelas air putih nya, entah darimana. Aku melepas pelukan Develine dengan kasar, sambil menatap nya dengan garang. Develine tertawa, ia menggoyang-goyangkan bahu ku.

“Develine! Kau tidak sopan! Aku ada disini! Aku yang asli!”jerit Charlonna palsu. Ia memukul meja dengan keras, lalu beranjak dari tempat duduk nya.

Meskipun terdengar suara benturan keras dari meja itu, aku masih menganggap nya lemah. Dengan cepat, aku memegang tangannya, agar ia tak pergi menemui Michael. “Kau belum di perbolehkan keluar,”

Charlonna palsu melepas tangan ku dengan kasar. Ia menatap ku marah. “Kau juga! Siapa kau sebenarnya?! Kau itu palsu! Jangan dekati aku!”

“Kau yang palsu di dunia ini, Charlonna Margaretha!”

Mata Charlonna palsu melebar, ia mundur beberapa langkah, lalu menatap ku dengan terkejut. “A-pa yang kau bicarakan?”

Dengan amarah yang berkobar, aku mencengkram tangannya, lalu menarik tangannya agar mendekati wajah ku. “Kau yang palsu di dunia ini, dan kau harus meninggalkan dunia ini secepatnya,”ucap ku dengan mata dingin.

*

My Stupid WishWhere stories live. Discover now