Pernikahan Yang Tak Sempurna - Bagian 10

2.8K 109 1
                                    

Usai mengajar, aku bergegas menuju tempat parkir motor. Kupacu motorku dengan kecepatan kencang, khawatir Alysha menunggu terlalu lama.

Ternyata dugaanku betul, Alysha sudah menunggu di teras rumah, ketika aku sampai. Dia mengenakan gamis biru toska serasi dengan jilbabnya. Terlihat dia memakai tas kecil berwarna coklat, pemberianku.

Wajahnya hanya dipoles bedak dan olesan tipis lipstik berwarna merah muda. Sungguh, dengan penampilan seperti itu, tidak akan ada yang menyangka jika dia menderita gangguan jiwa.

Alysha tersenyum kepadaku. Aku membalasnya.

"Aa mau makan dulu?" tanyanya.

"Tidak usah, Neng. Nanti terlalu malam. Lagi pula Aa udah makan roti pas istirahat sore," balasku, "Yuk, langsung aja."

"Oh, iya, A." Alysha menjawab sambil naik ke motorku.

Alhamdulillah, jalanan lancar. Kami tiba di tempat praktik psikiater Alysha di Jalan Cihampelas. Terlihat sebuah plang nama beliau dengan jelas.

"dr. Safitri Cahyaningrum, Sp.KJ."

Terlihat sebuah tempat praktik yang resik dan mungil. Dinding luarnya dicat abu muda. Terlihat beberapa kursi kosong di teras.
Setelah kuparkir motorku, kami memasuki ruangan dalamnya.

Sekilas kulihat hanya ada seorang bapak yang duduk di kursi.

"A, daftar dulu." Alysha berbisik kepadaku, sambil menunjuk ke bapak yang sedang duduk itu.

"Eh, Neng Alysha," sapa bapak itu sambil tersenyum kepada istriku, "Kemana aja? Lama tidak kesini ya?"

Alysha hanya tersenyum.

"Daftar dulu, Pak?" tanyaku.

"Betul. Wah maaf, Akang ini siapanya Neng Alysha?" ujarnya lagi penasaran.

"Saya suaminya, Pak."

"Wah, selamat yang Neng, selamat ya, Kang. Semoga pernikahan kalian awet dan Neng Alysha bisa sembuh total," cerocosnya.

"Aamiiin, makasih, Pak," balasku, sambil menulis nama Alysha di buku daftar.

"Silahkan duduk dulu. Lagi ada pasien di dalam," ucapnya.

"Iya, Pak," kataku singkat.

Tidak lama kemudian, pintu ruang praktek terbuka. Dua orang keluar dari ruang itu. Seorang remaja laki-laki masih memakai seragam SMP-nya dan seorang ibu berusia sekitar 50-an.

"Neng Alysha, silahkan masuk," tutur bapak itu dengan ramah. Jantungku berdetak lebih cepat dan tanganku berkeringat begitu kami memasuki ruang praktik.

Masuklah kami ke ruangan itu. Terlihat sebuah sofa empuk, terletak tidak jauh dari meja praktek. Di ujung ruangan, kulihat sebuah tempat pasien. Di sampingnya terletak sebuah monitor dan beberapa benda yang terlihat asing bagiku. Di meja praktik, ada dua kursi, yang diperuntukkan bagi pasien dan pengantarnya.

"Alysha, apa kabar?" sapa dokter Safitri dengan sumringah. Seorang dokter, kuperkirakan usianya sekitar 50 tahunan. Perawakannya tinggi, langsing, berkacamata dan berhijab.

"Baik, Dok," jawab Alysha, sambil duduk di kursi.

"Waaah, diantar siapa ini?" tanya sang psikiater tersenyum, "biasanya diantar Amih."

"Saya Satria, suaminya." Aku memperkenalkan diri.

"Oyaaa?" Mata dokter Safitri terbelalak, "Kok Dokter tidak diundang sih, Alysha?"

Alysha hanya tersenyum.

"Selamat ya, Alysha, Satria," ucap dokter, "Semoga kalian bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah."

"Aamiiin, terima kasih, dok," balasku.

"Alysha, bagaimana kabarmu? Ada yang ingin kamu ceritakan?"

"Aku senang menikah sama Aa," ceritanya, "Aku mau punya anak."

"Oya? Kenapa kamu senang menikah sama Aa?"

"Karena Aa baik sama Alysha."

"Terus, kenapa Alysha mau punya anak?"

"Biar ada teman, Dok" jawabnya pendek.

"Alysha mau baca majalah dulu? Ini, dokter punya yang terbaru," ujarnya sambil memberikan majalah itu, "Alysha boleh bacanya di sofa ya. Oya, dokter pinjem Aa-nya sebentar."

Alysha hanya tersenyum sambil beranjak menuju sofa empuk itu.

"Apakah orangtua Alysha sudah menceritakan kondisinya?" Dokter Safitri bertanya kepadaku.

Kuceritakan dengan singkat semua kejadian yang menyangkut Alysha, termasuk penjelasan kebohongan Amih saat aku pertama kali menanyakan penyakit Alysha hingga obrolanku dengan uwa Soleh.

Dokter Safitri menghela nafas dalam-dalam.

"Kamu hebat, Satria. Tidak semua laki-laki akan mengambil pilihan itu. Istrimu sungguh beruntung," beliau tersenyum hangat.

"Dok, apa yang sebenarnya terjadi dengan Alysha? Apakah dia bisa sembuh dan menjadi normal? Apakah dia berbahaya bagi orang lain? Apakah mungkin kami memiliki anak yang normal? Apakah dia harus mengkonsumsi obat seumur hidupnya?" kulontarkan semua pertanyaan yang selama ini bersemayam di pikiranku.

"Wow wow banyak sekali pertanyaannya. Saya jawab satu per satu ya."

Kulihat Alysha masih asyik dengan majalahnya.

"Alysha mengalami depresi dengan gejala psikosis."

"Apa itu psikosis?" tanyaku.

"Psikosis adalah keadaan mental yang terganggu oleh delusi atau halusinasi. Delusi adalah kesalahpahaman atau pandangan yang salah terhadap suatu hal, sementara halusinasi adalah persepsi kuat atas suatu peristiwa yang dilihat atau didengar tetapi sebenarnya tidak ada," jelasnya, "Penyebabnya bisa karena genetik, kimia otak atau stress berat."

Aku terdiam, menunggu lebih lanjut penjelasan dokter Safitri.

"Depresi yang dialami Alysha ini salah satu penyebabnya adalah karena stress berat karena calon suaminya yang meninggal itu. Sampai sekarang, saya belum tahu apakah ada faktor genetik di keluarganya. Karena beberapa kali saya bertanya pada Amih, beliau selalu memberi jawaban yang berbeda."

"Apakah Alysha bisa sembuh?" tanyaku lagi.

"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, selama kita berikhtiar dengan maksimal. Selama ini mengapa perkembangannya lama, salah satunya karena kontrolnya tidak teratur."

Cukup lama aku mengobrol dengan psikiater Alysha ini. Beliau menjelaskan bahwa Alysha selama ini tidak berbahaya bagi orang lain. Menurutnya, aku dan Alysha memang beresiko untuk memiliki anak yang memiliki gangguan jiwa.

"Namun resiko ini bisa diminimalisir dengan pola asuh yang sehat dan lingkungan yang mendukung," papar beliau, "Jadi, jangan takut untuk punya anak dari Alysha."

Dokter Safitri dengan sabar menjelaskan semuanya. Aku merasa beruntung, Alysha mendapatkan psikiater yang penuh pengertian dan sabar.

Usai menjawab semua rasa penasaranku, selanjutnya Alysha menjalankan sesi konseling, yang selama ini tertunda. Aku diminta dokter untuk menunggu di luar ruang praktek. Tidak lama setelah itu, gawaiku berbunyi.

Kubaca sebuah pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal.

"Satria, tolong temui saya besok, usai kamu mengajar."

BERSAMBUNG

PERNIKAHAN YANG TAK SEMPURNA [COMPLETED & SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now