"Dan kenapa aku harus mendengarkan perintahmu?"

"Karena kau sedang marah. Mustahil untuk bicara baik-baik dengan ibumu saat emosimu tengah mengambil alih."

"Sok tahu."

"Tolong turuti dia, Alice. Please." Oliver ikut angkat bicara. "Ibumu juga pasti kaget. Beri dia waktu. Setelah sama-sama tenang, kalian dapat membicarakannya."

Aku memejamkan mata, merasakan kemarahan menggelegak dalam diriku. Mereka berdua benar. Saat ini, yang kurasakan hanyalah amarah belaka. Aku tak terima dibohongi ibuku selama sembilan tahun lamanya. Jika hari ini aku tak kebetulan mendengarnya, mungkin aku tidak akan pernah tahu kalau ternyata aku memiliki saudara. Aku menarik napas dalam-dalam lalu membuka mata. Ibuku masih berdiri di tempatnya, tak berani bergerak, menatapku dengan tatapan yang dipenuhi rasa bersalah.

"Baiklah, guys, aku turun sekarang," bisikku di earphone. Aku berlari menuju lift dan mengabaikan seruan ibuku. Di depan kantor Ms. Connely, kedua temanku sudah menunggu, sementara Harold Navarre tak terlihat di mana pun.

"Kau baik-baik saja?" tanya Oliver dengan raut cemas.

Aku melepas earphone di telingaku sambil menggeleng dengan kedua alis bertaut. "Aku merasa kayak orang bodoh. Aku merasa dipermainkan, dibohongi, dan diperlakukan tidak adil."

"Well, coba lihat sisi baiknya," ujar Peter, berusaha membuat suaranya terdengar riang. "Kau mempunyai saudara. Bukankah itu yang selalu kau inginkan?"

Memang, sih. Seandainya aku bukan anak tunggal. Itulah yang kerap kali kukatakan. Tapi diingatkan pada saat-saat seperti ini tidak terlalu mengenakkan. Seakan seharusnya aku bahagia-setengah-mati lantaran tiba-tiba mempunyai saudara--kembar pula. Masalahnya di sini adalah, fakta penting tersebut disembunyikan dariku selama sembilan tahun. Apa alasannya ibuku tidak memberitahuku?

"Yeah. Saudara yang tak kuketahui keberadaannya. Ibuku bahkan tak tahu apa dia masih hidup," gumamku sambil menempelkan dahiku di dinding. Aku merasakan dorongan yang kuat untuk menghantamkan kepalaku. Siapa tahu secara ajaib ingatanku tiba-tiba kembali. Tapi sepertinya Peter dapat membaca isi pikiranku, sebab dia menarik pundakku dan memutar tubuhku hingga menghadap ke arahnya.

"Apa pun itu, jangan berpikir untuk melakukannya, Alice."

Aku menunduk. Tatapanku tertuju ke lantai. "Kau tahu, kepalaku ini seperti tak ada gunanya. Apa sebenarnya yang tersimpan di dalamnya? Tak ada ingatan tentang ayahku maupun saudara kembarku."

"Itu bukan salahmu," tegasnya. "Ingatanmu lenyap akibat kecelakaan."

Aku mendongak, memberinya tatapan tak yakin. "Bagaimana jika bukan?"

"Kita tak bisa yakin seratus persen sebelum memastikan apa pun. Dan bahkan jika ingatanmu memang dihapus, itu juga bukan salahmu."

"Benar," timpal Oliver. "Jadi jangan terlalu keras pada dirimu dan ibumu. Mrs. Sheridan pasti punya alasannya sendiri sampai dia merahasiakannya darimu sekian lamanya."

Aku memutar bola mata. "Jadi kalian membela ibuku? Bicara memang mudah. Kalian tidak berada dalam sepatuku." Meskipun aku berkata demikian, tapi aku tahu kalau mereka yang berada di posisiku, mereka pasti akan menyikapinya dengan sikap yang berbeda. Lebih tenang, lebih berkepala dingin--terutama Peter. Dia akan mampu membicarakannya baik-baik dengan ibuku. Tanpa emosi sedikit pun.

"Bukan membela ibumu," ralat Peter. "Kami hanya mencoba memberimu perspektif yang berbeda. Kalau cuma mengandalkan sudut pandangmu, kau hanya akan melihat kesalahan ibumu tanpa menelaah alasan di baliknya."

"Redakan dulu emosimu, lalu bicarakan dengan ibumu." Oliver ikut membujukku dengan suara pelan. "Jangan sampai kau mengucapkan hal-hal yang bakal kau sesali lantaran tak dapat mengendalikan amarahmu. Kata-kata juga dapat menyakiti orang lain."

Ucapan mereka terdengar masuk akal. Aku mengembuskan napas panjang, memutuskan untuk mengalah. "Oke, oke, aku akan mendengarkan kalian."

Peter tersenyum lebar. "Good girl."

Dari seberang kami, Harold Navarre berjalan mendekat sambil memeluk beberapa kaleng minuman. Cowok berambut gondrong itu mengedikkan bahu saat aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Jujur, aku sedikit kaget melihatnya--kukira dia sudah pulang dari tadi.

Tanpa berkata apa pun, dia mengangsurkan sekaleng soda padaku. Aku terperangah sejenak sebelum meraih kaleng pemberiannya. Kaleng itu dingin. "Sejak kapan kau membelikan minuman untuk pemilik peringkat satu dari belakang?"

"Anggap saja kau beruntung, Sheridan," sahutnya singkat. Dia memberikan dua kaleng lain pada Peter dan Oliver, lalu membuka kaleng minumannya--kopi tanpa gula. "Aku menyaksikan peristiwa yang menarik di bawah sewaktu membeli minuman."

"Apa itu?" tanya Peter.

Mata cokelat kehijauan milik Harry berkilat-kilat penuh semangat ketika menatap kami semua bergantian. "Seseorang memasuki rumah sakit dengan kondisi tubuh penuh luka dan mengatakan kalau dia ...." Dia sengaja berbicara lambat-lambat, seakan ingin menguji kesabaran kami.

"Dia kenapa?" tanyaku.

"Dia berkata kalau dia baru saja berhasil kabur dari sekapan seseorang yang mengaku sebagai pembunuh berantai Andromeda City."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Where stories live. Discover now