8-Tak Berguna

99 24 46
                                    

Selamat Membaca

"Ayah! Ayah sudah pulang?" Ale sangat senang melihat kepulangan Ayah ke rumah.

"Seperti yang kau lihat, Nak. " langsung saja Ale memeluk erat Ayahnya. Sepertinya luka Ayahnya juga sudah sembuh. Terlihat dari sikap Ayah yang tak lagi meringis ketika Ale memeluknya.

"Apa kabarmu, heum? Tak sampai Ayah meninggalkanmu selama seminggu, dan kini kau sudah jadi kurus, apa yang kau pikirkan?"

"Aku terlihat kurus?" Ale memandangi penampilannya dan sepertinya Ayahnya benar, Ale terlihat lebih kurus.

"Aku tak memikirkan apa-apa, Yah. Hanya soal diet. Ya, aku diet." Kekehan itu keluar dari Ale, padahal Ia sedang menertawakan nasib malangnya sendiri.

"Jangan bohong, Ayah tau. Soal hutang itu... Ayah akan bertanggung jawab. Biarkan Ayah menekam di penjara dan kalian semua akan selamat. Jangan pikirkan soal perkataan pemuda itu, mereka hanya menggertak." Ayahnya merangkul Ale dan tersenyum, lalu mengacak gemas rambut milik Ale.

"Ayah..." Setelah Ale mendongak melihat wajah Ayah, ditemukannya wajah ikhlas nan teduh di sana.

Apa Ale tega membiarkan Ayahnya dalam jeruji besi dan menekam selama bertahun-tahun? Tentu tidak. Ale akan berusaha membantu Ayahnya.

"Sudahlah, fokus pada sekolahmu, ya." Ayah memperingati Ale seperti anak kecil. Ia menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah manis Aleza
"Ayah mengerti apa yang kau alami, jangan dengarkan siapa pun yang berusaha membuat sekolahmu tak selesai. Sukseskan sekolahmu, lalu kau boleh membantu Ayah, ingat!"

Ayah... harus bagaimana lagi aku bersikap padamu Ayah. Sikapnu sungguh benar-benar Ayah yang mengayomi. Aku sungguh sangat menyesal sempat berpikiran jelek tentang Ayah.

Kata-kata Aleza tertahan di tenggorokannya. Susah baginya untuk mengeluarkan sebuah kalimat seperti kata hatinya.

"Baik, Yah. Aku akan mengerjakan seperti yang kau ingini." Aleza mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sedikit terisak. Sejak dulu, memang Ayah yang selalu membela Aleza, menyemangatinya, bukan Ibu.

Aleza akui memang Ibu adalah sosok yang selama ini selalu mengajarkannya banyak hal. Tapi, tidak untuk pelajaran kehidupan. Ayahnya yang selalu mengajarkan untuk bersikap dewasa, bukan memaksanya.

"Bila Ayah tertangkap nanti, jangan lupa mengunjungi Ayah dan buat ibumu tak khawatir ya. Ayah janji akan baik-baik saja." Kini, Ayah sudah mengacak-acakan kembali rambut Aleza dan rambut Aleza yang sudah dirapikan tadi, kembali berantakkan.

"Baik, Yah. Aku janji!" Aleza menautkan jari kelingkingnya pada Ayahnya. Ia akan melaksanakan setiap perkataan Ayahnya. Baginya, Ayah adalah pahlawan keluarga. Dalam situasi seperti apapun, Ayah tak pernah mengabaikan keluarga dan mementingkan diri sendiri. Ayah selalu mengutamakan keamanan dan kenyamanan keluarga.

***
Pagi ini Aleza bangun dari tidur nyenyaknya. Setidaknya beban di kepalanya mulai berkurang. Namun, itu tak berlangsung lama. Ale mendengar suara teriakan histeris dari ruang tamu dan dengan gerakan cepat, tanpa beres-beres dan bersih-bersih dahulu, Ale pergi ke sana.

"Kami mohon, beri waktu lagi pada kami." Ibunya memohon pada kedua pemuda ditambah sseorang bapak-bapak juga sekawanan polisi yang mendatangi kontrakan mereka. Ibunya terus-terusan menangisi kepergian Ayah yang diseret oleh polisi.

"Ayah!!" Ale tak mampu untuk berdiam lagi. Langkah kakinya menuju keberadaan Ayahnya. Dan terlihat wajah Ayahnya tak teelalu banyak luka, namun terlihat luka batinnya yang jauh lebih banyak.

"Ayah... Ayah pergi meninggalkan ku?" Ale terisak pilu melihat Ayah yang tangannya sudah diborgol.
"Jangan pergi Ayah, kumohon.. Pak.. tolong bebaskan Ayahku." Ale memohon pada salah seorang polisi yang berdiri tegak. Namun, mereka sama sekali tak menggubris perkataan Ale.

Dimantapkan langkahnya menuju Ayah, di sana terlihat Ayah meminta izin pada polisi untuk berbicara sebentar dengan Aleza, putri sulungnya.

"Main-mainlah ke penjara ya, Nak. Ayah ada di sana. Tapi, kerjakan dulu tugas sekolahmu, baru boleh berkunjung." Sempat-sempatnya Ayahnya tersenyum dan mengingatkan Ale. Padahal, Ayahnya sedang merasa kesakitan. Borgol di tangannya yang terlalu ketat, membuat bekas di tangannya.

Kini, Aleza hanya mampu mengangguk. Dilihatnya Ayah yang sudah mulai menjauh dari perkarangan rumah menuju mobil polisi. Entah bagaimana ceritanya sampai Aleza baru menyadari keberadaan polisi di rumah kontrakan mereka. Ale memaki tidur nyenyaknya yang tak tau diri. Kini, dengan susah payah Ale menyeret langkahnya menuju Ayahnya. Meski tak bisa ikut, Ale terus meneriakki Ayahnya.

"Ayahhhh!" Ale tahu ini sama sekali tak berguna. Tapi, Ale tetap akan terus memanggil Ayahnya. Ale menangisi keberadaannya yang sama sekali tak berguna bagi Ayah.

"Ayah... maafkan aku." Ale terisak pilu meratapi nasibnya. Sungguh, Ale tak menyangka akan begini. Ale merasa dirinya tak ada berguna untuk keluarga.

Bagaimana mungkin Ale tak bisa membantu Ayahnya di saat Ayahnya benar-benar memerlukan bantuan?

Sekarang, Ale sendiri. Ale meratapi jalan yang dilalui Ayahnya. Di jalan aspal ini, Ale semakin menangis. Satu-satunya orang yang sayang dan tulus padanya pergi meninggalkannya, walau tak selamanya.

Saat ini, Hujan jadi saksinya. Hujan lebat tiba-tiba menerpa dirinya. Rasa sakit akibat butiran tetasan hujan itu mengenai kepala Aleza terus-menerus.

"Ahhhh!!" Teriakan kencang Aleza kencang tak mau berhenti. Ia meneriaki dirinya tanpa ampun. Kini hanya hujan yang mampu menemani keberadaan.

TBC

She Is My Shinning AngelWhere stories live. Discover now