4-Semangat

138 29 32
                                    

Selamat Membaca

"Aleza, Ibu mohon jangan menghindar lagi!" Ibu setengah berteriak pada Ale saat dia akan lewat, tanpa memeduli Ibu sama sekali. Akhirnya Ale mengalah. Dengan menghela napas berat akhirnya dia menurut.

"Syukurlah kau mau mendengarkan Ibu, begini.." lagi-lagi Ibu menggantung kalimatnya, yang semakin membuat Ale gelisah.

"Begini, Ibu dan Ayah sudah memikirkan jalan keluar yang cukup baik, apa kau mau menurutinya?"

"Itu tergantung, Bu. Jika itu membahayakan diriku, maka aku tak mau!" Ada nada kesal di kalimat Ale barusan. Entah kenapa di penglihatan Ale, Ibu semakin terlihat mengesalkan.

"Kita bisa meminjam uang bukan? Lagi pula, waktu seminggu itu sungguh mustahil untuk kita, Za. Bagaimana, apa kau setuju?" Setelah dipikir-pikir Ale, mungkin ini lebih baik. Setidaknya mereka masih mempunyai waktu untuk membayarnya, dan Ale akan bekerja keras untuk membayarnya. Ale mengangguk-anggukan kepalanya pertanda setuju.

"Akhirnya kau mau, Nak." Ibunya memeluk Ale dan Ale sedikit terisak dalam pelukannya.
"Ibu juga tak akan tega dan mau menjadikanmu tumbal atas permasalah ini. Percayalah tak ada orangtua yang bisa melakukannya."

Kini Ale yang terisak. Dia tak kuasa menahan kesedihan yang selama ini dituduhkan pada kedua orangtuanya.

Kemudian ibu melonggarkan pelukan nya. Ia menatap Ale lekat sambil mengusap-usap rambutnya lembut.
"Kau adalah putri sulung kami, jadi lakukanlah yang terbaik yang kau bisa . Ibu dan Ayah percaya kau bisa menjadi panutan bagi kedua adikmu." Tanpa sadar, Ale memeluk Ibunya lagi. Kali ini lebih erat, bahkan rasanya seperti melepas rindu yang dalam, meski Ale tak tau apa maksud perasaan ini.

"Ibu, Ayah ke mana? Sejak tadi aku tak melihatnya?" Kini Ale sudah tak memeluk Ibu lagi. Dia mencari keberadaan Ayahnya.

"Ayah sedang di puskesmas. Dia di rawat inap, karena lukanya semakin membengkak."

Astaga! Apa-apaan aku ini?! Aku sampai tak tau keadaan Ayah, hanya karena emosi yang menggebu membuatku lupa keadaan Ayah. Maafkan aku Ayah. Hanya bisa kuucapkan dalam hati. Aku sungguh benar-benar minta maaf. Begitu kata hati Aleza.

"Sudahlah, tak apa. Keadaannya sudah mulai membaik. Kemungkinan lusa sudah boleh pulang. " Setidaknya jawaban Ibu dapat menenangkan hati Ale, walau hanya sedikit.

"Bu, baiklah. Aku akan berusaha meminjam uang, dan mengenai Ayah, tolong temani aku menemui Ayah, ya Bu." dilihatnya Ibu tersenyum, kemudian mengangguk.

***

"Ayah!!" Ale menghambur ke dalam pelukan Ayahnya setiba di ruang inap puskesmas. Rasanya Ale sudah menjadi anak durhaka menuduh mereka yang bukan-bukan.

"Aleza? Kau datang, Nak? Ayah pikir kau masih marah pada Ayah." Ayahnya mengusap-usap rambut Ale lembut. Ia terlihat tersenyum tapi, senyumnya seperti tak tulus, kenapa?

"Heumm.. Za, kau menimpah tangan Ayah. Tangan Ayah masih bengkak." Ale meringis menyesali perbuatannya. Ale segera bangkit dan mengembus-embuskan luka Ayahnya yang masih bengkak.

"Maaf Ayah, aku sungguh tak tau." Ale menunduk menyesali perbuatannya dan dilihatnya Ayah memaksakan senyum sambil menggeleng lemah.

"Tak apa, Za. Kau tak salah. Hem, bagaimana sekolahmu?"

"Baik, Yah." Tak apa sekali ini Ale berbohong. Karena pada nyatanya, tadi pagi saat jam pelajaran ketiga dimulai, Ale sudah diusir dari kelas. Setidaknya Ayah tak boleh mencemaskan dia lagi. Ale hanya berusaha membuatnya tenang.

***
"Gerald, sedang apa kau di sini?" tanya Ale, saat tiba-tiba Gerald datang ke ruang kelasnya. Omong-omong soal Gerald, dia bukan teman sekelas Ale. Mungkin kalian ingat saat mereka berdua sama-sama berada di luar saat jam pelajaran hanya karena sebuah hukuman dari seorang guru.

"Aku hanya ingin menemuimu, kenapa? Ada yang salah?" Gerald tersenyum jail pada Ale.

"Kau ini!" Ale mencubit lengannya yang sedikit berlemak dengan tawanya yang sudah mulai terkembang. Sepertinya, ia menyadari perubahan raut wajah Ale hari ini dari sebelumnya.

"Kau terlihat bahagia, euhm? Bagaimana dengan masalahmu tempo lalu?" Gerald mengusap-usap lengannya yang memerah akibat cubitan Ale.

"Ahh merah ya? Aduhh.. maafkan aku, Ral. Aku tak bermaksud begitu." Ale sungguh menyesali perbuatannya.

"Sudahlah ini tak apa, sebentar lagi juga membaik." sepertinya perkataan Gerald benar. Ale tak mencubit lengannya terlalu dalam. Kulitnya yang putih yang membuat rona merah itu jelas terlihat. Kalian tak percaya pada Ale? Kalau tidak, coba kalian tes sendiri. Genggam sebelah lengan kalian dengan satu tangan yang lainnya. Pasti akan memerah, meski tak sakit.

"Sudahlah jawab saja pertanyaanku yang tadi," seru Gerald merasa penasaran.

Ale kira ia sudah lupa pertanyaannya, nyatanya tidak. Gerald benar-benar tergolong teman yang peduli tapi, tidak... tidak... lebih tepatnya ia seorang sahabat.

"Aku sudah menemukan jalan keluarnya, Ral!" Ale sangat bersemangat mengucapkannya, dan Gerald? Jangan tanya, dia juga terlihat sangat bahagia. Ia tersenyum dengan mata yang seperti melompat-lompat.

TBC

She Is My Shinning AngelOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz