20. Upside down

3.5K 216 3
                                    

Setelah menikmati udara dingin dan makanan khas Kaliurang, Harris mengajak Erika untuk kembali ke mobil. Mereka bersiap untuk turun dari puncak Kaliurang menuju kota Jogja. Dalam perjalanan, Erika tetap  sibuk berbicara dengan pikirannya sendiri.

“Sayang, kita nggak mungkin begini terus. Kamu jangan diam dong. Please ...,” ujar Harris di tengah konsentrasinya menyetir.

Erika tidak terlalu menghiraukan keluhan itu. Harris tidak pernah tahu, bahwa wanita disampingnya juga merasa lelah harus terus seperti ini. Namun hati istrinya sudah terlanjur mengeras, karena ditempa oleh luka-luka yang tersembunyi. Erika benci karena suaminya tak pernah benar- benar jujur padanya. Ingin mulai membahas, namun mulut Erika terasa kelu. Terlalu banyak yang ingin ia tumpahkan. Bicara tentang masalahnya, sama saja membuka luka-lukanya yang dalam. Tidak, itu terlalu menyakitkan bagi Erika. Meski akhirnya keluar juga jawaban yang sulit dimengerti.

“Aku harus ngomong apa, Mas? Rasanya semua sudah cukup jelas.”

Harris semakin bingung dengan jawaban Erika. Mengapa sih, perempuan selalu begitu? Apa tidak bisa bicara yang langsung pada intinya. Tidak belak-belok ke sana kemari. Harris bertanya kembali apa maksud kalimat Erika? Namun percuma, Erika tak mau bicara lagi. Ia semakin diam dan dingin kembali.

Harris mencoba mengendalikan emosinya yang tiba-tiba saja ingin meluap. Kembali ia teringat pesan Ayah, bahwa perempuan jadi seperti apa itu karena suaminya, karena dia adalah adalah pemimpin.

Lagi-lagi Harris harus pandai mencari celah untuk masuk dan menyelami perasaan istrinya. Sekali bengkok akan susah lurus kembali. Erika sedang bengkok hatinya, ia begitu kuat dengan keputusannya untuk berpisah. Harris harus sangat berhati-hati, jangan sampai semakin parah masalahnya.

Mobil melaju tidak terlalu kencang. Kini sudah sampai di seputaran Bulak Sumur.  Mereka bersiap memasuki kawasan Kampus Universitas Gadjah Mada.  Harris menghibur hatinya dengan bicara sendiri tentang Kampus Almamater tercintanya itu. Telah banyak yang berubah, kini banyak gedung-gedung baru yang tampak megah. Dan sudah pasti jalan raya seputar kampus semakin padat  merayap.

Harris tak memperdulikan Erika mendengar atau tidak. Ia terus bicara. Bahkan saat melewati  kampus  Fakultas teknik ke arah Rumah Sakit Dr. Sardjito, Harris semakin semangat bercerita. Ia ceritakan bagaimana dulu bertemu dengan wanita yang selama pujaan hatinya. Si jelita Erika Riswandi.

Erika tidak tahan melihat kelucuan gaya bicara Harris. Tanpa sadar ia pun tertawa. Meski tidak terlalu lepas tertawanya, namun cukup bisa merubah suasana menjadi tidak kaku lagi.

Jujur, Erika mengakui dalam hati. Harris adalah pria yang tak mudah menyerah. Jika laki-laki lain menghadapi Erika, mungkin sudah menyerah dan mereka bisa resmi bercerai lebih cepat. Namun kini, Harris masih dengan sabar berusaha mengambil hatinya kembali.

“Gitu dong …, Kamu tahu nggak sih? Kalo Kamu tertawa, tidak ada yang indah dan bercahaya selain Kamu.” puji Harris dengan nada yang  tulus.

Erika semakin tertawa mendengar Harris mulai mengeluarkan jurus jitunya. Namun tertawanya tiba-tiba terhenti.   Ia teringat kembali luka-lukanya. Sungguh sayang, kalimat rayuan itu tidak mempan bagi Erika. Mungkin karena sudah hilang keampuhannya. Sudah terlalu sering diucapkan pada banyak perempuan.

Mobil terus bergerak mengitari kota Jogja. Jalanan yang sedikit macet dan keadaan yang tidak sama lagi seperti dulu, membuat Harris bingung harus berhenti di mana. Erika tak sedikitpun bicara ingin kemana, atau sekedar memberi pendapat enaknya pergi kemana? Tanpa sadar mereka sudah melewati Malioboro. Lalu setelah perempatan arah keraton Jogja, Harris memilih belok kiri. Tiba-tiba saja ia ingin makan soto favorit mereka berdua. Yaitu soto Kadipiro di Jalan Wates.

Heart BreakerWhere stories live. Discover now