13. Jealous

4.2K 218 9
                                    

Erika berjalan pelan masuk halaman rumah,  dengan menenteng tas laptop dan blazer di tangan kirinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Erika berjalan pelan masuk halaman rumah,  dengan menenteng tas laptop dan blazer di tangan kirinya.  Sempat heran, kok tumben Bi Sari tidak menyalakan lampu teras. Ternyata ada Harris di situ.

Erika yang tampak lelah langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman dan  mencium tangan suaminya. Harris menyambutnya, namun  hanya berdiri kaku dengan wajah tanpa ekspresi.

Harris benar-benar tidak suka melihat istrinya diantar pria lain. Sebenarnya ia ingin langsung menghampiri pria itu. Ia ingin tahu seperti apa wajahnya. Mengapa bisa bersama istrinya malam itu. Namun ia coba tahan untuk tetap diam dan menunggu di teras.

"Datang jam berapa Mas, kok nggak kasih kabar dulu?"

"Apakah setiap aku pulang harus memberi kabar dulu padamu? Atau minta izin dulu, begitu?"

Bukan gitu juga kali, Mas. Tapi di rumah ini aku yang tinggal. Setidaknya jangan datang dan pergi sesuka hati."

"Maksudmu sesuka hati apa? Bukankah kamu yang minta kita pisah rumah? Jangan basa-basi, deh. Mengapa kamu pulang di anter laki-laki? Siapa dia? Mana mobil Kamu, Erika?"

"Mobilku bannya kempes di parkiran, Mas. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Aku panik. Kebetulan ada Mas Bayu di parkiran juga. Sekalian  nawarin  nganter aku pulang. Karena udah malem, ya aku ikut sekalian."

"Kamu langsung mau aja di anter pulang. Nggak mikir cuma berduaan di mobil. Kamu kan bisa pulang pake Go-car, Uber atau taksi. Atau bisa nelpon Aku. Nggak repot kan?"

Erika tidak suka dengan sikap Harris. Begitu juga dengan banyak pertanyaan menyudutkan yang penuh curiga. Seketika wajah Erika berubah. Senyumnya hilang. Wajah cantiknya menjadi tampak garang. Ia diam sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sorot matanya penuh kemarahan.

"Siapa Bayu. Kamu nggak pernah cerita punya teman kerja namanya Bayu."

Tak ingin ribut, Erika  langsung masuk rumah dengan wajah kesal. Ia tak memperdulikan Harris yang masih terus bicara. Panjang seperti kereta api.

"Erika! Dengarkan aku dulu. Kamu  bisa nelpon aku di saat seperti itu. Aku ini masih suamimu. Erika!"

Perempuan yang masih mengenakan baju kerja itu bergegas masuk kamar dan menutup pintunya dengan kencang.

"Braakk!"

Harris yang mengikuti di belakang tidak terima dengan apa yang dilakukan Erika. Keadaan semakin memanas. Harris terlihat semakin marah.

"Apa maksudmu membanting pintu? Erika, jelaskan padaku!" teriak Harris sambil memukul-mukul pintu yang sudah terkunci.

Harris tak kuasa menahan rasa cemburu. Pikirannya mengarah pada banyak kecurigaan. Ia ingin tahu yang sebenarnya terjadi dari mulut Erika saat itu juga.
Bisa saja, Erika pulang telat karena jalan atau makan malam  dengan pria itu.

Harris berjalan mondar mandir di ruang tengah. Ia berusaha meredam amarahnya. Harris betul-betul kesal. Bagaimana tidak, ia sudah menunggu penuh harap di rumah, eh malah Erika pulang di antar laki-laki lain. Itu sudah, alasan mengapa ia dulu  melarang istrinya kerja. Mana Erika cantik, pasti banyak pria yang menaruk hati padanya.
Jangan salah, kadang perempuan yang sudah bersuami tampak lebih menarik dan membuat penasaran di mata lelaki. Serem, kan? Pikiran tak menentu berkecamuk di benak Harris.

"Mamaa... , Bibii...," suara Marsya sambil menangis. Ia sudah turun dari ranjang. Rupanya ia kaget mendengar suara pintu dan teriakan papanya.

Harris langsung berlari menghampiri Marsya di kamarnya. Marsya tampak ketakutan. Mungkin suara keras pintu dan teriakan membuatnya berimajinasi tentang hal yang aneh-aneh.

"Marsyaa..., ini papa sayang. Jangan nangis ya, nak. Cup, cup, cup...," bujuk Harris dengan suara lembut.

Harris memeluk dan menggendong Marsya. Ia berusaha keras untuk menenangkannya. Tangisannya tak kunjung berhenti. Bi Sari masuk, namun Harris memberi kode untuk keluar saja. Harris merasa bisa mengatasinya.

"Ya sudah. Nanti kalo butuh saya, langsung panggil saya ya, Pak." kata Bi Sari dengan suara pelan.

Hampir setengah jam, Marsya terlelap kembali di pelukan papanya. Dengan hati-hati Marsya  ditidurkan di ranjang. Setelah dirasa pulas tidurnya, Harris berjalan pelan keluar kamar.

Mendengar tangis anaknya, namun Erika tetap berada di kamar. Ia tak mencoba keluar memastikan keadaan anaknya. Ini membuat Harris semakin tak menyukai sikap Erika.

Kejadian malam itu menambah pelik hubungannya mereka berdua. Dengan hati-hati seharian  Harris  mencoba  merencanakan sesuatu yang spesial, hancur  seketika. Komunikasi tidak berjalan baik. Masing-masing mempertahankan  kemarahannya.

Sebenarnya sudah bagus rencana harinitu. Harris mengirim bunga, Erika memberi respon hangat.  Dan Harris sudah ada di rumah untuk menyambut istrinya pulang kantor.  Malam ini ingin makan malam bersama,  mau memberi surprise pada Erika. Namun gagal.  Malah dia yang mendapat kejutan. Sampai-sampai terbakar rasa cemburu.

Hampir satu jam Erika di dalam. Tak ada tanda-tanda dia akan keluar dari kamar. Hanya suara gemericik air dari kamar mandi terdengar samar. Harris tidak perduli. Ia ingin memberi waktu bagi Erika dan dirinya untuk menenangkan diri.

Harris mulai reda emosinya.  Terbersit sedikit penyesalan atas sikap bodohnya tadi. Tapi rasa cemburu tak bisa ditahan olehnya. Kalau sudah begini, bingung lagi mau berbuat apa. Akhirnya ia bersabar menunggu duduk di ruang tengah.

Harris berdiri mengambil tas kerjanya.  Dia mengeluarkan sebuah amplop. Amplop itu berisi tiga buah tiket pesawat Garuda. Tiket penerbangan Jakarta-Jogja hari sabtu pagi minggu ini.

Yang terjadi malam ini tidak seperti apa yang ada dibayangannya. Bahkan Harris sempat kecewa. Mawar putih yang di kirimnya tak di bawa pulang oleh Erika. Apakah mawar itu bukan hal yang membahagiakan lagi baginya?

Harris menarik napas panjang. Harapannya,  semoga tiket ditangannya itu bisa membuat Erika mau bicara dengannya. Nanti malam atau besok pagi. Entahlah, Harris pasrah saja. Ia mulai merasa lelah dan sangat mengantuk.

Harris tak berniat untuk mengetuk pintu kamar istrinya. Harris memutuskan untuk tidur di kamar Marsya. Putri kecilnya tidur pulas.  Entah sedang bermimpi apa ya? Wajahnya begitu polos dan menggemaskan. Kadang tampak  tersenyum sendiri, padahal matanya terpejam.

Kasihan Marsya, dari pagi ditinggal kerja Mamanya. Bahkan sampai malam begini, Erika belum menjenguk Marsya di kamarnya. Tak biasanya Harris bersedih seperti ini.

Yang membuatnya sedih adalah membayangkan apa yang ada dipikiran putri kecilnya. Pasti dia bingung melihat Papa dan Mamanya yang tidak tinggal serumah. Marsya pasti ingin bercerita, bertanya dan didengarkan isi hatinya. Ingin bermain bersama setiap hari. Namun kedua orangtuanya egois dengan urusan masing-masing.

Harris mengusap lengan putrinya dan memasangkan selimut yang terlepas dari tubuhnya.
Lalu dengan boneka teddy bear besar, Harris gunakan untuk bantal. Ia tidur di atas karpet lembut di samping ranjang anaknya.

Kenangan indah saat menyaksikan Marsya lahir, lalu tumbuh, bisa berlari, berbicara, hingga sekarang, menjadi pengantar tidurnya.

Sejenak ia melupakan masalahnya. Ia hanyut juga dalam mimpi tidak jelas dalam tidurnya. Sambil penuh harap, semoga esok semua akan baik-baik saja.

###

Heart BreakerWhere stories live. Discover now