BAB X

20 3 0
                                    

Saat aku membuka kedua mataku. Yang aku lihat adalah warna. Aku bangkit dari posisi tidurku. Melihat jam menunjuk ke arah delapan. Aku mendapati kak Renata sedang tertidur di sofa besar berdua dengan bibi. Dan aku melihat Rama dan papa yang tertidur dengan posisi duduk. Masing-masing mereka memiliki selimut. Semenara aku, tidur di tempat khusus pasien. Sudah aku duga jika aku sedang ada di sebuah Rumah Sakit. Menyebalkan!

Aku mencabut selang infus yang tertempel di tanganku secara paksa. Sedikit meringis karena sakit saat mencabutnya. Aku turun dari kasur mengambil air lalu meneguknya perlahan. Kepalaku sedikit pusing karena mungkin aku tidur lama sekali. Terakhir aku ingat jika aku sedang di halaman kantor kak Renata. Dia gila bekerja, tapi hari ini di jam seperti ini dia tidak bekerja.

"Lo udah bangun?" tanya Rama dengan suara khas bangun tidur. Aku mengangguk tanpa berbicara.

"Ra-amh," ucapku tidak jelas. Aku memejamkan mataku. Suaraku habis lagi.

"Uhuk uhuk"

Aku berjalan ke arahnya lalu mengambil ponsel Rama dan mengetikkan sesuatu disana.

"Suara lo habis, orang tiap malem lo nangis," aku menghentikan gerakan jariku yang menari di atas layar ponsel Rama. Dia mengangguk membenarkan ucapannya.

Aku jatuh terduduk dengan air mata mengalir di pipiku. Aku ingin berteriak tapi tidak bisa. Kebiasaan burukku.

"Jangan nangis lagi, nanti suara lo ilangnya lama Dil," aku memukul-mukul Rama dengan sisa kekuatanku. Laki-laki itu memegang kedua tanganku kuat untuk menghentikanku memukul dirinya.

"Adila," panggil suara papa. Aku menoleh lalu menunduk. Kembali menangis. Mengabaikan papa yang terlihat sangat khawatir.

"Papa," panggilku akhirnya. Suaraku kembali dengan sendirinya. Papa duduk di sampingku dan manarikku ke dalam pelukannya.

~**~

Aku masih di Surabaya. Rani, Sahila, Kamila, Reza, dan yang lainnya yang sudah berkenalan denganku tapi aku tidak mengingat namanya datang menjengukku. Sebagian dari mereka seharusnya sekolah. Tapi, kenapa tidak?

"Ram, ini hari apa?" tanyaku mengingat Rama berkata jika setiap malam aku menangis. Artinya, bukan baru satu malam aku berada disini.

"Minggu, lo udah tiga hari ada disini. Lo bangun tapi gak inget siapa gue, lo gila lama-lama," yang lainnya tertawa atas ucapan Rama sementara aku mendengus tidak suka. Pantas saja kak Renata tidak bekerja dan sebagian yang datang tidak bersekolah. Rupanya hari ini adalah hari minggu.

"Kasian Adila, Ram. Dia baru sadar udah lo jailin aja!" timpal Reza yang tidak aku indahkan. Aku lebih memilih papa yang sedang fokus dengan laptop di hadapannya dan beberapa lembar kertas tertumpuk di samping laptop. Di depan laptop itu terdapat setumpuk map setinggi layar laptop itu.

"Nih, makan," Kamila menyodorkan sepiring mangga. Sudah ada garpu disana untuk membantuku memakan buah mangga dengan nyaman.

"Kalian boring gak sih disini?" tanyaku di sela-sela memakan buah mangga. Yang lainnya memakan buah apel, jeruk, dan buah-buahan yang lainnya yang ada di keranjang di ujung kasurku.

"Nggak, soalnya ada makanan," celetuk Rani dengan cengirannya. Banyak yang bersorak mengejek gadis itu yang kemudian tertawa.

"Dil, kata Rama, gambar lo bagus ya?" aku mengangguk, "Cepet sembuh ya, biar lo bisa latihan lagi." Dia memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Wooooo modus!"

"Huuuu apaan itu!"

"Gak jelas lo, Fre!"

Adila's ChallengeМесто, где живут истории. Откройте их для себя