BAB VII

17 4 0
                                    

"Kakak orang mana?" tanya Devi. Kami sudah berada di dalam mobil bu Tika dan sedang dalam perjalanan menuju tempat penginapan kami—aku dan Rani.

"Surabaya,"

"Jakarta," aku dan Rani sama-sama menoleh satu sama lain. Aku tersenyum sedangkan Rani menatapku datar. Wajahnya masih terlihat seperti habis menangis. Matanya yang terlihat sembab menambah fakta bahwa Rani habis menangis. Gadis itu menangis lama dan banyak membicarakan hal bersama bu Tika secara empat mata.

"Ha ha," Devi tertawa. Mau tidak mau aku ikut tertawa.

"Boleh minta nomornya? Nanti aku kabarin kalo aku main ke Surabaya atau ke Jakarta," Devi sudah siap dengan ponsel dan jari tangannya. Aku memberikan sebuah barcode sebuah aplikasi berlogo khas warna hijau terang dengan icon nama aplikasi tersebut.

"Kakak nanti gift aku stiker yang 100 koin ya!" seru gadis itu menampilkan cengirannya. Aku tertawa mendengar ucapannya. Stiker seperti apa yang dia inginkan? Dan aku harus membelinya dengan jumlah koinku yang masih kosong di aplikasi tersebut? Haruskah aku mengeluarkan uang untuk membeli koin dan memberi hadiah kepada Devi stiker yang dia inginkan?

"Bercanda Kak, gausah serius gitu deh," aku digoda olehnya. Kali ini tertawa alami karena tergelak dengan candaan yang devi keluarkan.

"Kak Rani gak mau ngasih?" gadis itu bertanya lembut. Sikapnya sungguh mengagumkan. Walaupun ia sudah dicurigai oleh Rani, Devi masih tetap sopan kepadaku dan Rani.

"Add lewat id aja." Balas Rani lalu menyeutkan sederet huruf yang diketik oleh gadis itu.

Kami menikmati perjalanan yang lumayan panjang. Berkali-kali aku mencari nama penginapan kami tapi alamat itu salah membuat kami harus berbelok arah dan mencari jalan lainnya.

"Bu, ini deket pelabuhan bukan sih?" tanyaku melihat ada yang janggal sejak tadi. Rasa-rasanya aku tidak melihat apa yang kemarin aku lihat selama perjalanan dari pelabuhan menuju penginapan.

"Bukan, ini jauh dari pelabuhan. Emangnya penginapan kalian deket dari pelabuhan?" aku mengangguk sementara Rani menjawab 'iya' membuat bu Tika tertawa. Ia membalikkan arah kemudi ke jalan yang sebelumnya.

~**~

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore hari, ponselku bergetar hebat saat aku sedang makan bersama bu Tika, Rani dan Devi. Tidak terlalu jauh dari penginapan.

Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku dengan nama Rama terpampang disana.

"Halo," aku meminum jus jeruk yang aku pesan. Lalu mendengar bunyi krasak-krusuk dan beberapa teriakan dari sana. Aku mengeryitkan keningku. "Halo, Ram, lo dimana?"

"Halo, lo yang dimana? Gue tungguin di penginapan lo gak muncul-muncul dari siang!" aku sedikit menjauhkan ponselku.

"Gue lagi makan, laper deh, sebentar lagi pulang."

"Lo dimana? Share location coba, gue jemput sekarang." Aku menggeleng dengan bodohnya lalu menempuk jidatku sendiri. Jelas Rama tidak akan melihat tingkahku.

"Nggak usah, gue sebentar lagi pulang. Serius deh, gak lama, nyelesein dulu makan terus pulang."

"Ada Papa lo disini," aku termenung mendengarnya lalu buru buru meneguk habis jus jeruk di hadapanku sementara makananku masih sisa seperempat.

"Lo serius? Papa bilang apa?"

"Ya khawatir lah bego! Lo sama kita pisah. Rani sama lo 'kan? Yang lain nyariin dia," lagi-lagi aku mengangguk dengan bodohnya. Ketiga pasang mata kini menatapku heran.

"Eh hehe maaf, Dila udah dicariin sama Rama, sepupu Dila," aku cengengesan. Rani sontak merebut ponselku dan berjalan menjauh dan berbicara sesuatu yang tidak bisa aku dengar. Disini cukup ramai.

Adila's ChallengeWhere stories live. Discover now