BAB II

35 8 0
                                    

Aku memandang laki-laki yang tingginya melebihiku dengan malas. Sejak sore tadi, aku mengekorinya berjalan seraya memegang ujung bajunya agar ketika aku tertinggal, laki-laki itu bisa diam menungguku yang kecapean akibat suhu di Surabaya ini cukup tinggi. Belum lagi perjalanan kami sangat jauh. Rasanya aku ingin pingsan sekarang.

“Aduh Dil, lo kok berhenti terus sih dari tadi. Gue cape tau!” bentaknya. Aku tidak peduli, aku menatapnya dengan wajah melas yang dasarnya memang karena aku kelelahan serta tidak dalam mood yang baik.

“Lo cape juga?” aku mengangguk sebagai jawaban. Dia menarik tanganku dari ujung bajunya lalu menyeretku untuk duduk di Bibir jalan yang sepi. Pohon rindang tepat melindungi kami dari teriknya matahari. Angin berembus melewati leherku membuat energi ke dalam tubuhku seperti bertambah. Aku mengatur napasku yang tersengal-sengal.

“Kenapa gak pake motor aja sih, Ram? Cape tau! Ternyata jauh gini, kenapa tadi gak naik angkot aja coba, ih kesel gue.” Rama tertawa yang aku hiraukan.

“WOY RAMA!” teriak seseorang membuat tawa Rama mereda dan segera berdiri sambil melambai-lambaikan tangan kepada seseorang. Aku memicingkan mata untuk melihat seperti apa teman Rama. Ternyata tidak terlalu buruk.

“Lagi apa lo disini? Pendaftaran udah mau ditutup. Gue telepon gak diangkat tuh.” Aku samar-samar mendengarnya.

“Itu tuh nungguin cewe gila lagi pengen istirahat katanya kecapean dari rumah gue jalan sampe sini.” Aku datang mendekati Rama lalu menjewer kupingnya sambil terdiam membuat laki-laki di hadapan Rama tertawa terbahak-bahak disusul oleh laki-laki lainnya. Sebenarnya, aku tidak terlalu cape, hanya saja aku ingin menikmati kota Surabaya.

“Aduh sakit Dil sakit kuping gue, lepasin dong!” keluh Rama.

“Kaya ibu tiri amat Dil sama gue, kejam.” Aku melotot lalu melonggarkan tanganku di jeweran kuping Rama. Namun sifat Rama yang licin seperti belut, laki-laki itu kabur lalu dengan cepat aku mengejarnya.

“HEH PSIKOPAT GILA JANGAN LARI!” teriakku. Hingga ia berhenti, aku kembali menjewer kupingnya.

“Lepasin dulu, kita kesini mau disuruh daftar jadi relawan lo ngapain jewer-jewer gue. Udah mau tutup tuh! Gue kalo gak jadi relawan gak masalah, lo yang kena masalah.” Aku menonjok lengannya kasar lalu menarik tangan Rama ke sebuah stand putih.

“Rama!” ucap seorang gadis penuh penekanan. Dia memicingkan matanya penuh ketidaksukaan.

“Wah, Rama selingkuh lagi.” Mendengar kata ‘selingkuh’ yang ditujukan kepada Rama, aku kembali menjewer kupingnya.

“Selingkuh sama siapa lo ngaku sama gue!” bentakku membuat beberapa orang menertawakanku. Rama juga dengan sialannya menertawakanku.

“Ram, kita putus!” ucap gadis yang yang tadi memanggil laki-laki sarap di sampingku. Ya, banyak kata umpatan yang akan aku gunakan untuk Rama.

“Eh, lo pacarnya Rama?” tanyaku melepaskan jeweranku lalu mencegah gadis itu untuk pergi.

“Iya Dil, dia pacar gue, kenapa? Lo cemburu juga?” balas Rama. Aku menempeleng kepalanya dengan sebelah tangan.

“Bang, gue sama dia mau daftar, masih bisa ‘kan?” tanya laki-laki itu daripada mempedulikan pacarnya sendiri.

“Lo gausah pegang-pegang gue, bitch!”

“Lo punya hak apa ngatain gue bitch?”

Aku menahan tangannya lebih kuat. Tatapan kami sama-sama berkilat memancarkan emosi dan kebencian. Masing-masing kami sama-sama awas dengan tangan masing-masing. Aku mempunyai firasat jika Rama akan membiarkan kami berkelahi jika aku tersulut emosi. Aku membiarkan gadis itu jengah dengan apa yang aku lakukan.

Adila's ChallengeWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu