BAB VIII

16 4 0
                                    

Hari ini, hari terakhir aku ada di Bali setelah empat hari berturut-turut kami melaksanakan acara sosial. Aku sedang menunggu Sahila mengambil sebuah trash bag untuk mengumpulkan sampah yang ada di sekitar hutan tempat kami melakukan acara terakhir kami. Aku berteduh karena hari sudah sore dan aku sangat lelah sekali.

"Dil, lo inget gue gak sih?" tanya seseorang yang sengaja duduk di sebelahku. Aku mengerutkan keningku. Kepala plontosnya dia pamerkan kepadaku dengan membuka topi yang sengaja ia pakai.

"Inget gak?" tanyanya menunjuk kepalanya sendiri. Aku diam tidak menjawab laki-laki itu.

"Ram, gak inget gue katanya nih!" teriaknya kepada Rama yang cukup jauh dari tempat aku beristirahat. Di kejauhan, Rama hanya nyengir membuat laki-laki di sebelahku tertawa.

"Eh, lo yang ngetawain gue sama Rama waktu gue lari-lari bareng dia jalanan 'kan?" laki-laki di sebelahku bertepuk tangan.

"Selamat Dil, lo dapet hadiah satu juta rupiah, dengan potongan pajak 100%." Ucapnya asal seperti iklan-iklan di layar kaca. Aku tertawa melihat lelucon yang ia buat untuk menghiburku.

"Lo lucu juga kalo gak marah-marah sama Rama," ia kembali duduk setelah melakukan gerakan menari tadi. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku memang cantik, tapi aku merasa sangat cantik ketika aku bisa menyiksa Rama dengan bebasnya.

"Dila, lo sebenernya dendam apasih sama gue? Sampe gue diteriakin bego eh bodoh eh apa tuh? Malem-malem lo teriak-teriak bilang takut. Emang gue setan apa?" aku mengeryitkan keningku mencoba mengingat sesuatu.

"Kata Rama lo trauma sama biksu, waktu itu gue jadi biksu tuh waktu malem-malem. Hari pas gue pertama kali liat lo juga sama Rama lari-lari di jalan." Ah! Kejadian hari itu!

"Oh, jadi, itu lo? Sorry ya, gue emang trauma, jadinya gue gak sadar waktu itu ngatain apa aja sama lo," ucapku merasa bersalah.

"Santai, gue udah dikasih tahu sama Rama kalo lo trauma, makannya lo bilang lo takut. Tapi, kejadiannya kaya gimana sampe lo takut sama biksu? Padahal biksu juga gak makan lo tuh, gue penasaran," aku tertawa saat dia berkata jika biksu tidak akan memakanku. Ya jelas! Biksu juga manusia yag normal! Mana mungkin mereka kanibal dengan memakan daging sesama manusia dengannya.

Sahila datang lalu menyodorkan dua buah trash bag kepadaku. Aku berdiri lalu menyelesaikan pekerjaanku memungut sampah sementara laki-laki itu aku biarkan begitu saja.

"Dil, pulang dari sini lo ke kantor Kak Renata dulu katanya. Kak Renata gak pulang udah dua hari." Tiba-tiba Rama sudah ada di sampingku membantuku memungut sampah-sampah yang sialnya sangat banyak.

"Kenapa? Kak Renata biasanya rajin,"

"Kak Renata butuh lo buat bilang sesuatu. Dia dituduh jadi tersangka penggelapan uang." Aku berdecih tidak suka.

"Ha ha, gila aja Kakak gue menggelapkan uang kantor." Rama menampar lenganku kuat.

"Nah! Cuma lo satu-satunya orang yang bakalan bilang gitu ha ha ha!" aku menempeleng kepala Rama. Dia kurang asupan vitamin otak sepertinya, lelucon tidak berguna seperti itu tidak akan memengaruhiku terhadap tuduhan Kak Renata.

Kakakku memang memiliki banyak saingan. Dia sering dituduh demikian, tapi, bukan kakakku namanya jika dia tidak membalikkan keadaan dengan fakta yang sebenarnya. Hal-hal semacam itu sudah tidak asing di telingaku. Kejujuran kak Renata sangatlah kuat. Tidak akan ada orang yang bisa menandinginya untuk bisa menjatuhkan jabatan yang sudah didapatkan oleh kakakku itu.

"Dil, pertanyaan gue belum lo jawab," tiba-tiba laki-laki yang mengajakku mengobrol tadi membantuku memungut sampah daripada Rama yang membuang-buang hasil kerjaku keluar dari tempatnya.

Adila's ChallengeWhere stories live. Discover now