BAB VI

21 5 0
                                    

Aku dan Rani memutuskan untuk mengikuti saran bu Tika. Kami akan berkunjung sebentar untuk ikut menelepon Rama berhubung ponselku dan ponsel Rani sama-sama tidak memiliki sinyal. Mungkin kami harus menemukan SIM Card yang tepat untuk digunakan di seluruh daerah di Indonesia.

Sampai di rumah bu Tika. Kami menemukan seorang gadis cantik. Wajahnya mirip suami bu Tika karena gadis itu mengingatkanku kepadanya. Kami dipersilahkan duduk bergabung dengannya yang sedang membaca sebuah buku tua.

“Devi, ambilkan minum untuk tamu,” suruh bu Tika yang diangguki anak itu.

Kami menunggu, sedari kami duduk, Rani sudah menyenggol-nyenggol lenganku membuatku menoleh dan berkata ‘Apa?’ dengan gerakan mulutku tanpa bersuara. Dia menunjuk sesuatu saat bu Tika dan Devi hilang dari tempat kami duduk.

“Kok ada salib, guru lo itu agamanya apa sih?” tanya Rani. Aku menaikkan kedua alisku bingung. Kenapa? Maksudku, kenapa ada salib? Bukankah itu tanda orang beragama Kristen? Tapi, tadi aku melihat bu Tika ikut melakukan Upacara Ngaben. Dan itu tradisi agama Hindu di Bali. Aku bingung sendiri dibuatnya.

“Ini Kak, silahkan diminum.” Devi menyimpan dua gelas minuman di depan kami dan dua toples makanan ringan.

“Makasih, Devi.” Dia mengangguk.

“Nama Kakak siapa? Nama aku Devi, aku masih SMP kelas dua,” ucapnya riang.

“Aku Adila, panggil aja Dila. Anak didik Bu Tika waktu masih SD, aku ... udah gak sekolah.” Aku berbicara berbisik di dua kata terakhir yang aku ucapkan. Devi tergelak. Mungkin mengapa aku harus berbicara demikian—berbisik.

“Aku Rani,” balas Rani pendek. Kenapa Rani menjawab pendek?

Devi mengangguk lalu setelahnya bu Tika datang membawa sebuah ponsel. Lalu menyodorkannya kepadaku. Aku menerima ponsel yang layarnya sudah menyala. “Langsung telepon aja, bilang kalian tersesat. Mobil ibu dipake suami, jadi ibu gabisa anter kalian,” aku mengangguk lalu langsung menuliskan sederet nomor Rama.

“Halo Ram,” banyak suara di tempat Rama. Bunyi krasak-krusuk juga terdengar.

“Halo,” aku menghembuskan napas lega mendengar suaranya.

“Ram, ini gue Dila. Gue kesasar deh kayaknya, ini pinjem hp bu Tika, kebetulan kenal. Lo dimana? Bisa jemput gue nggak?” aku mendengar Rama mendesah frustasi. Entah apa maksud laki-laki itu, yang jelas aku memperkirakan jika Rama sedang berpikir. Karena itu adalah salah satu kebiasannya.

“Gue juga kesasar, ini bukan daerah gue, gue gatau jalan. Coba lo tanya-tanya aja jalan ke arah penginapan kita. Kata Bang Andre kita pulang kumpul aja disana. Bakti sosial juga besok sih. Tadinya hari ini kita boleh jalan-jalan tapi gue gak yakin. Anak-anak lain gapunya duit. Kita pulang aja ya?” aku diam.

“Yang lain juga sama kok kesasar. Kita pencar jauh banget.” Aku kembali diam.

Aku menjauhkan ponsel dari telinga. “Ran, lo inget jalan kita kesini gak?” Rani menggeleng. Lalu aku kembali berpikir, mengabaikan telepon bersama Rama. Aku teringat dengan pulsa bu Tika! PULSA BU TIKA AKAN HABIS JIKA BEGINI!

“Ram, gue nanti ke penginapan. Gue inget kok namanya.” Aku langsung mematikan sambungan telepon hingga suara bu Tika membuat aku terlonjak kaget karena pikiranku melayang entah kemana.

“Kenapa?” aku menggeleng sambil gelagapan.

“Sepupu Dila bilang dia juga gatau dimana, Bu.”

“Yaudah, kalian istirahat dulu disini. Cape, nanti suami ibu pulang ibu anterin kalian,” aku mengangguk lemah.

~**~

Adila's ChallengeWhere stories live. Discover now