Prolog

139 17 1
                                    

“Bu Tika!” teriak Adila di ujung koridor sekolah. Gadis itu berlari membuat dua kuciran kuda di samping kanan dan kiri kepalanya bergoyang seirama dengan kedua kakinya berlari mencapai orang yang ia panggil tadi. Bu Tika berjongkok menangkap Adila yang sudah merentangkan tangannya meminta wanita itu memeluknya sejak Adila hampir mencapai dirinya.

“Ha ha Adila, kenapa kamu harus lari?” tanya Tika gemas seraya mencubit pipi Adila yang gembul pelan. Wanita itu menggandeng tangan Adila pergi.

“Bu, Ibu mau nemenin Dila lagi sampai Papa kesini?” tanya Dila. Matanya berbinar polos. Gadis yang baru duduk di kelas dua sekolah dasar itu menangkap perbuatan Tika yang sudah menjadi kebiasannya sejak ia diterima mengajar di sekolah ini dua bulan yang lalu.

Tika mengangguk menampilkan senyumannya yang cantik. Setelah mencapai lobby, keduanya duduk di sofa, tepatnya di ruang tunggu anak sebelum jemputan mereka tiba dan mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam mobil atau naik ke atas motor lalu pulang dengan selamat.

“Bu, Dila mau nanya,” Dila membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah majalah remaja. Gadis kecil yang masih polos itu sibuk membuka lembaran demi lembaran majalah yang dibawanya dari rumah.

“Dila kan liat majalah ini di kamar Kak Renata, terus Dila belajar baca karena banyak gambarnya, tapi Dila gak ngerti, Bu!” seru gadis itu. Ia duduk, membuka halaman demi halaman dengan perasaan gelisah tak tertahankan. Keningnya berkerut, tangannya membuka halaman itu dengan kekuatan penuh emosi. Mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit mencari keberadaan halaman yang ia cari tapi tak berhasil.

“Eh he he bentar ya, Bu! Dila lupa sebelah mana,” cengiran gadis itu mulai terlihat. Lesung pipinya membuat gadis itu tampak sangat menggemaskan membuat bu Tika segera merebut majalahnya dari tangan gadis itu.

“Yang membuat Dila gak tau dan bingung seperti apa?” Dila mengerutkan keningnya. Telunjuknya disimpan di pipinya, menopang wajahnya yang sedang sibuk memikirkan apa jawaban dari pertanyaan guru kesayangannya itu.

Dila menggeleng lemah, “Pokoknya itu ada pakaian nutupin tubuh warna item, cuma keliatan matanya aja, Bu!” ia melakukan hal yang sebelumnya untuk berpikir, “ada tulisan hi-hi ... hi apa ya Dila lupa,” bu Tika tersenyum dan membuka lembaran yang menurutnya cocok dengan apa yang diucapkan oleh gadis itu.

“Hijrah?” tanya bu Tika menunjuk apa yang sebelumnya dideskripsikan oleh Dila membuat gadis itu mengangguk.

Bu Tika mengusap kepala Dila sayang. “Dila, majalah ini kamu ambil dari kamar kakak kamu, majalah ini untuk orang seusia kakak kamu. Seharusnya kamu tidak membacanya,” jelas wanita itu lembut. Walaupun sudah berhati-hati Dila tetap saja merenggut kesal, bibir gadis itu mengerucut tidak suka. Tubuhnya sudah mulai membelakangi bu Tika yang terkekeh melihat kelakuan anak didiknya di kelas.

“Dila dengerin Ibu ya, Ibu mau jelasin tentang berapa banyak agama yang ada di negara kita, sebagai ganti Ibu tidak akan menjelaskan tentang hijrah, karena itu terlalu jauh untuk kamu pahami, Dila mau ‘kan?” gadis itu mulai menoleh bingung dengan ucapan yang sudah dilontarkan oleh gurunya. Mau tak mau, gadis itu mendengarkan ucapan bu Tika dengan seksama.

“Di negara Indonesia tempat kamu tinggal ini, sekarang ada lima jenis agama. Yang pertama itu Islam, yang beragama Islam di negara kita ini paling banyak, atau orang-orang dewasa menyebutnya mayoritas. Sementara agama selain agama Islam itu disebut agama minoritas, atau paling sedikit pemeluknya. Agama Islam itu agama yang sekarang Dila ikuti, Ayah sama Ibu Dila pasti ngajarin Dila salat, juga ngajarin Dila ngaji ‘kan?” Dila mengangguk.

“Tempat ibadah agama Islam itu namanya masjid, sedangkan-”

“Dila, ayo pulang sayang,” ucap seseorang memotong ucapan bu Tika. Keduanya menoleh ke sumber suara. Seorang pria jangkung berdiri dengan senyumannya. Tangannya terulur ke arah Dila. Gadis itu tidak menerima uluran tangan ayahnya, ia memegang kedua tangan bu Tika dengan tangan mungilnya.

“Ibu, besok jelasin lagi sama Dila ya? Sekarang Dila mau pulang dulu sama Papa!” seru gadis itu riang. Bu Tika tersenyum seraya mengangguk menyanggupi keinginan gadis itu. Selesai memasukkan majalah kakaknya ke dalam tas, Dila menyambut uluran tangan ayahnya dan segera pergi.

“Dadah Bu Tika!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya yang dibalas oleh wanita itu.

Adila's ChallengeWhere stories live. Discover now