Perasaan Hati [Versi Tulis Ulang]

9.5K 541 8
                                    

Lisana bangun pagi itu dengan mata merah dan bengkak, sehabis menangis semalaman, tubuhnya terasa lemah. Dia memaksa dirinya untuk duduk, bersandar pun berat untuknya.

Suara pintu dibuka mengagetkan Lisana, dia takut yang datang adalah Alfian, tapi kepala Ivan yang muncul dari balik pintu dengan senyuman melegakan hatinya.

"Selamat pagi." Di tangan Ivan ada sebuah nampan berisi sarapan untuk Lisana.

"Apa tugas seorang dokter telah diganti ya? Bukannya pak dokter seharusnya hanya bertugas memeriksa pasien, bukan membawa makanannya," canda Lisana.

Ivan tertawa, mata hitam di balik kaca matanya berkilau jenaka. "Khusus untuk nona Lisana saja," ujarnya.

Senyum di bibir Lisana sedikit kendur. "Haha, kau bisa saja Ivan. Aku sudah menikah, jadi bukan seorang nona lagi."

"Tapi bagiku kau tidak seperti wanita yang sudah menikah."

"Apa?"

"Tidak apa-apa. Tadi cuma candaan, jangan dianggap serius, Lisa." Ivan kembali tertawa. Dia meletakan nampan berisi makanan itu di nakas samping ranjang Lisana.

"Lisa?" Mulut Lisana terbuka, dia tertegun. Tidak pernah ada seorang pun selain ayah dan Adrian yang memanggilnya dengan nama kecilnya itu dulu.

"Iya," Ivan mengambil mangkuk sup jagung lalu menyendoknya dan meniupnya sebelum menyodorkannya di depan bibir Lisana. "Katakan, ahh."

"Ahh..." Lisana yang masih shock tanpa sadar menuruti perintah Ivan membuka mulutnya. Sesendok sup jagung hangat pun masuk melalui bibirnya. Saat mulai mengunyah, Lisana baru sadar ternyata ia tengah disuapi oleh Ivan.

"Ivan." Lisana kesal. Tapi, pria itu hanya tertawa dan menyendok sup jagung lagi. Dia terus menyuapi Lisana, walau Lisana berusaha menolak.

Tidak terasa satu mangkuk sup jagung telah habis, Ivan akan mengambil makanan lain jika saja tidak dihentikan Lisana dengan mengatakan bahwa dia sudah kenyang.

"Kau harus makan banyak," titah Ivan.

Namun, Lisana tetap menolak.

Mencoba beberapa kali tapi tetap gagal, Ivan akhirnya menyerah membujuk Lisana. Meletakan kembali mangkuk yang kosong. Ivan bersandar di tepi ranjang Lisana. "Aku lelah, boleh aku beristirahat sebentar di sini."

"Oh, iya. Aku mendengar sepertinya tadi malam rumah sakit ini sangat sibuk."

Ivan menganggukan kepalanya pelan. "Aku baru sampai di rumah kemarin, tapi tiba-tiba ada panggilan untuk kembali ke rumah sakit. Ada kecelakaan beruntun antara tiga bus, dua mobil dan lima motor yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan."

"Apa ada yang meninggal?"

Wajah Ivan mendadak suram. "Lima belas orang meninggal termasuk enam anak kecil, sisanya orang dewasa."

"Astaga... itu buruk sekali, Ivan. Apa kau baik-baik saja?"

Ivan kembali menampilkan senyum cerianya. "Aku sudah terbiasa, sebagai seorang dokter aku telah banyak melihat kematian, Lisa."

Untuk kali ini Lisana tidak menyukai senyuman Ivan, itu tampak sangat palsu. "Jangan tersenyum bila kau tidak mau."

Senyum ceria Ivan hilang, matanya menjadi lebih gelap dan ekspresinya nampak begitu sedih. Tiba-tiba Ivan menggenggam tangan Lisana. "Tolong, biarkan sebentar saja tangan kita seperti ini . Aku sedang membutuhkan asupan kekuatan." Ivan menutup kedua matanya.

"Dariku?"

"Umm, tanganmu sangat hangat Lisa. Ini membuatku merasa nyaman dan mengantuk." Tak disangka Ivan sungguhan tertidur.

Lisana tidak tega membangunkan Ivan, wajah Ivan memang terlihat lebih pucat dari biasanya, bahkan ada lingkaran hitam tebal di kedua matanya hingga membuat wajah tampan dokter muda itu mirip panda. Meski tangannya mulai terasa pegal, Lisana membiarkan Ivan tertidur selama satu jam dengan damai sambil menggenggam tangannya.

"Ivan memang benar-benar mirip dengan Alfian yang dulu." Tangan Lisana lainnya mengelus kepala Ivan lembut.

Di sebuah komplek pemakaman seorang pria memakai kursi roda tengah berdiam sendiri di depan sebuah makam. Nama Nila Aftita Sari tertulis jelas di atas batu nisan makam tersebut.

Alfian meletakan sebuket bunga lili di makam Nila, lalu setelah itu ia pun berdoa untuk mantan tunangannya itu. "Nila..." Satu tetes air mata jatuh di pipi Alfian sehabis berdoa.

Rusaknya PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang