Marah [Versi Tulis Ulang]

13.3K 696 20
                                    

"Bagaimana keadaan istri saya, dok ?"

"Istri anda hanya luka memar di bagian kepala dan tidak ada luka dalam. Untungnya mobil yang menabraknya segera berhenti jadi benturan tidak terlalu keras."

"Tapi, kenapa istri saya masih belum sadar?"

"Mungkin karena istri anda belum makan daritadi pagi dan sepertinya istri anda juga mengalami kelelahan mental yang sangat berat. Apakah ada masalah di rumah? Maaf, jika pertanyaan ini terlalu pribadi. Anda tidak perlu menjawabnya, tuan."

"Tidak, dok. Ini semua sa-"

"Lisana, kau sudah sadar?" Lisana melihat bayangan kabur tubuh pria di sampingnya. Mata coklat dan wajah tampan itu, tidak salah lagi. "Alfian?"

"Bagaimana keadaan anda nyonya Lisana? Apa anda masih merasa sakit?"

Lisana melihat ke asal suara itu dan melihat seorang pria berjas putih berdiri di sisi lain. Mata hitam hangat, kulit putih pucat dan memakai kacamata. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan pria itu adalah tampan dan tampak ramah. Apakah pria itu adalah malaikat?

"Lisana, tadi dokter Ivan bertanya. Apa kau baik-baik saja? Kau tidak mendengarnya?" Suara kesal dari Alfian menyadarkan Lisana dari lamunannya.

"Maafkan aku..." suara Lisana gemetar.

"Cih, kau itu memang selalu seperti itu. Setiap orang berbicara selalu tidak di dengarkan," makian Alfian sungguh menyakiti hati Lisana.

"Tuan Alfian, kurasa seharusnya anda tidak berkata seperti itu pada istri anda." Dokter Ivan berusaha membela Lisana. Tapi, Alfian hanya menatap tajam istrinya itu sebelum mendorong kursi rodanya keluar.

Lisana menangis ketika tangan dokter Ivan menyentuh bahunya. "Walau tuan Alfian berkata kasar sebenarnya dia sangat khawatir tentang keadaan anda, nyonya Lisana," kata dokter Ivan berusaha menghibur.

Lisana tersenyum lemah, pelan dia menggeleng "Kurasa itu mustahil, dok. Alfian sangat membenciku karena dia menganggapku telah membunuh tunangannya dan dia mau menikah denganku hanya karena wasiat dari tunangannya sekaligus sahabatku sebelum ia meninggal."

"Oh, tapi aku tidak yakin kau yang membunuh sahabatmu itu. Benarkan?" Dokter Ivan tersenyum.

"Terima kasih, dok."

"Tidak masalah, Nyonya Lisana. Untuk sekarang beristirahatlah." Dokter Ivan lalu meninggalkan ruangan.

Setelah memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Lisana melihat ada beberapa buah-buahan segar di piring atas meja dan juga pisau buah. Dia tidak tahu pisau kecil itu cukup tajam atau tidak, tapi dia mengambil pisau itu lalu bersiap menusukannya ke jantung. "Aku harap kematianku akan cepat."

Namun, seseorang tiba-tiba menghentikannya. "Apa yang akan kau lakukan?" Suara sedingin es menggema dalam ruangan.

"Alfian?"

"Tanyaku, apa yang ingin kau lakukan dengan pisau di tanganmu?!" Alfian tambah mengencangkan cengkeramannya di tangan Lisana.

"Apa pedulimu, Alfian? Bukankah kamu ingin aku mati?" cecar Lisana.

" A-aku-" wajah Alfian tampak ragu.

"Kalau kau tak peduli padaku, biarkan aku mati disini!" Lalu tangan Alfian yang menahan Lisana melonggar.

Lisana menatap miris Alfian. "Kau bahkan tidak mempunyai niat kuat untuk menahanku? Sebenarnya apa yang kau inginkan? Bukankah kau ingin aku mati selama ini? Atau kau hanya ingin menyiksaku hidup lalu kau bisa membunuhku secara perlahan dalam kesakitan?" Lisana berteriak padanya. Emosi yang ia tahan selama pernikahan mereka akhirnya meledak.

Tapi, sebelum Alfian membuka mulutnya untuk mengatakan apapun, seseorang mendahuluinya. "Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Dokter Ivan yang baru masuk dan melihat Lisana memegang pisau segera berlari lalu merebutnya.

"Nyonya Lisana, apa maksudnya ini? Apa anda ingin bunuh diri? Apa kehidupan anda tidak penting? Jawab aku, nyonya Lisana!" Dokter Ivan menatap Lisana marah, tapi Lisana hanya diam memalingkan wajahnya.

"Tuan Alfian?" Dokter Ivan mengalihkan pandangannya ke arah Alfian. "Apa ini cara anda memperlakukan istri anda?" geramnya marah.

Lisana menatap heran dokter Ivan yang sedang memarahi Alfian. Kenapa dokter Ivan mau membelanya?

"Ini bukan urusan anda, dokter Ivan!" Alfian memelototi dokter Ivan lalu pergi keluar ruangan dengan kesal.

"Kenapa dia bisa bersikap begitu kejam pada istrinya?" desah dokter Ivan, menatap tidak percaya ke arah mana Alfian pergi. "Aku sangat merasa kasihan pada anda, nyonya Lisana. Tapi, bunuh diri juga bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah," nasihatnya pada Lisana dengan senyum lembut.

"Kau itu masih begitu muda dan cantik. Jadi, jangan mudah putus asa!" Dia memberi Lisana semangat seraya mengepalkan kedua lengannya keatas.

Lisana tersenyum tulus, penuh terima kasih pada dokter Ivan. "Kau adalah orang yang sangat baik, dokter Ivan. Sungguh beruntung wanita yang mendampingimu."

Wajah tampan dokter Ivan berseri-seri dan pipinya sedikit memerah. "Jangan memujiku seperti itu, nyonya Lisana. Aku jadi malu."

Lisana tertawa untuk pertama kalinya hari itu. Sudah lama Lisana tidak pernah merasa senang sekaligus nyaman dengan seseorang. Jika, Lisana dapat berharap, dia ingin sikap Alfian seperti dokter Ivan. Dia merindukan sikap ceria Alfian sebelum berubah.

"Ada apa, nyonya Lisana? Kenapa wajahmu tertekuk lagi?" Wajah dokter Ivan tiba-tiba ada di depannya. Bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.

"Dokter Ivan?" Kepala Lisana otomatis mundur.

"Wajah anda memerah seperti tomat rebus, nyonya Lisana!" Dokter Ivan tertawa setelah menjauhkan wajahnya akhirnya. Lisana menghela nafas lega.

Lisana merengut kesal lalu melempar wajah Dokter Ivan dengan bantal. Tanpa Lisana sadari, Alfian sedang mengawasi interaksi mereka dari balik pintu.

Rusaknya PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang