Masa Depan [Versi Tulis Ulang]

11.6K 654 14
                                    

Hari-hari Lisana di rumah sakit berlalu cukup damai. Alfian terkadang mengunjunginya, walau Lisana pikir dia datang cuma sekedar memeriksa dia mati atau belum. Sungguh ironis, sebagai istri tentu Lisana merasakan sedih dan sakit. Tapi, apa dia berhak mengeluh? Ketika memang karena dia Alfian kehilangan tunangannya juga sekaligus sahabat dekat untuknya, Nila.

Tapi, perasaan sedih Lisana selalu menjadi lebih ringan ketika dokter Ivan datang mengunjungi kamarnya, walau hanya datang sekedar memeriksa keadaannya.

Namun, beberapa hari ini Lisana merasa dokter Ivan selalu muncul tiba-tiba, padahal saat itu bukan jadwal untuk memeriksanya. Dokter Ivan akan datang membawa beberapa makanan ringan atau buku untuk Lisana baca dan setiap kali ia bersamanya, pria tampan berkaca mata itu akan selalu berusaha membuat lelucon agar ia tertawa. Berbeda dengan Alfian suaminya yang selalu membuat Lisana menangis.

Dan hari ini dokter Ivan juga datang lagi mengunjunginya, padahal hari rabu ini dia tidak ada jadwal kerja di rumah sakit. "Halo, nyonya Lisana, bagaimana keadaanmu hari ini?" sapa dokter Ivan muncul dari balik pintu dengan senyum lebar dan sebuah boneka kelinci lucu di tangannya.

"Aku sehat, dokter Ivan. Mungkin sebentar lagi aku bisa pulang ke rumah." Memikirkan rumah membuat semangat Lisana sedikit menurun. Itu bukanlah rumah tapi sebuah neraka.

Dokter Ivan tersenyum. "Aku tahu, tapi yang aku tanyakan adalah keadaan hatimu?" Dokter Ivan akhirnya masuk ke dalam ruangan Lisana, sekarang pria itu memakai pakaian santai, kemeja putih dipadu dengan jaket hitam serta celana jeans dan sepatu olahraga berwarna senada.

Lisana balas tersenyum. "Apakah boneka kelinci itu untukku?" Dia mencoba mengalihkan pembicaraan dan untungnya dokter Ivan mengerti, bahwa Lisana tidak ingin menjawab pertanyan tadi.

Dokter Ivan menganguk lalu memberikan boneka kelinci itu pada Lisana.

"Darimana kau tahu aku suka kelinci dokter Ivan?" Lisana memeluk boneka kelinci gemuk itu erat. "Umm, benar-benar lembut." Senyum bahagia di bibir Lisana bertambah lebar.

Dokter Ivan bertingkah agak misterius. Pria berkaca mata itu mengedipkan sebelah matanya lalu menekan jari manisnya di atas bibir. "Itu adalah rahasia, nyonya Lisana."

Lisana tertawa.

Mereka pun akhirnya tenggelam dalam percakapan panjang. Dokter Ivan menceritakan bahwa ia pernah memiliki istri tapi meninggal karena gantung diri.

"Aku turut berduka cita, dokter Ivan. Maaf karena aku menanyakan hal itu, anda harus mengingat kenangan pahit anda lagi."

Dokter Ivan tertawa. Lisana merasa heran dengan tanggapan dokter tampan tersebut. Meski dia orang yang ceria seharusnya dokter Ivan bersedih saat menceritakan kematian istrinya.

Tahu apa yang sedang dipikirkan Lisana, dokter Ivan akhirnya menghentikan tawanya. "Apa yang disedihkan ketika kematian itu dipilih oleh istriku sendiri?" Lisana begitu terkejut ketika dokter Ivan mengatakan hal itu. Dokter Ivan menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak terlalu sedih ketika istrinya meninggal, karena cintanya pada wanita itu sudah lama hilang. "Dia berselingkuh dan ketika aku mengetahuinya, dia malu dan memilih untuk bunuh diri. Wanita itu sudah gila." Dokter Ivan berkata dengan nada dingin yang menyengat tidak kalah dengan aura dingin Alfian ketika marah.

"Karena itu aku tidak menyukai seseorang yang bunuh diri." Dia memandang Lisana. "Setiap orang memiliki kesempatan kedua selama dia masih hidup dan bisa memperbaiki kesalahannya jika ia mau. Seandainya istriku tidak bunuh diri tapi meminta maaf padaku. Aku mungkin masih bisa memaafkannya dan memulai semuanya dari awal. Tapi, kenyataannya dia malah memilih menyerah dan hanya meminta maaf padaku lewat selembar surat," katanya getir.

"Kau masih mengingatnya, dokter Ivan?" tanya Lisana penasaran. Ketika ia sadar pertanyaan apa yang baru keluar dari bibirnya, Lisana lansung tutup mulut.

Namun, dokter Ivan tidak marah atau tersinggung sesuai dugaan Lisana, dokter muda itu menempatkan tangan besar miliknya di kepala Lisana lalu membelai rambut panjang Lisana lembut. "Buat apa mengingat masa lalu, bila ada masa depan di hadapanmu?"

Rusaknya PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang